02. Elipsis Sepi

3.6K 181 3
                                    

"Siapakah mampu menahan rindu pada alunan yang mampu menyusup relung kalbu?
Siapakah yang mampu merindu tanpa tahu sampai kapan harus menunggu?"

***

Habbibah perlahan membuka mata saat suara Adzan terdengar sangat merdu dari Masjid Hidayatullah yang tak jauh dari rumahnya.

Dia bangun bukan karena terganggu. Tapi, karena suara itu yang selalu dirindu, suara lelaki yang teramat dikagumi dan bertahta di hati tak pernah terganti.

Lukman Firmansyah, seorang lelaki sederhana yang setiap hari mengumandangkan Adzan di Masjid Hidayatullah. Ia mampu membuat Habbibah jatuh cinta walau tak pernah sekali pun mereka duduk berdua.

Setelah larut mendengar suara pujaan hatinya Habbibah melirik jam di dinding kamarnya telah menunjukan pukul tiga lebih lima belas menit.

Habbibah segera teringat janji bertemu Airin di taman. Segera ia mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi. Selesai mandi lalu sholat Ashar dan bersiap-siap ke taman.

Habibah berpamitan kepada orang tuanya. Sebelum Habibah pergi pak Handoyo memanggilnya. Beliau meminta Habibah agar tidak pulang larut malam dikarenakan nanti malam Naufal dan keluarganya akan datang.

"Insyaallah," jawaban singkat Habbibah terdengar sangat datar. Dia mencium tangan kedua orang tuanya dan berjalan tergesa-gesa.

"Pak, Bapak lihat tidak? Bibah kelihatannya sangat sedih."

"Lah, sedih kenapa? Kan, sudah setiap hari dia seperti itu. Pendiam, tertutup."
"Dari semalam dia nangis terus, Pak."

"Kenapa? Tidak mau dijodohkan? Dari dulu juga selalu menolak laki-laki yang melamarnya."

"Mungkin dia punya pilihan sendiri. Jadi kita jangan terus memaksanya untuk cepat-cepat menikah."

"Sekarang yang melamar, kan, Naufal. Anak Irwan, sahabat baik bapak. Enggak enak menolaknya, lagi pula Naufal itu sudah mapan, jadi pasti bisa membahagiakan anak kita."

"Bapak, Bapak!" ucap bu Maryamah sambil menggeleng.

"Kenapa, Bu? Ibu tidak setuju?"

"Bukan tidak setuju. Kasihan Bibah."

"Lah, kasihan kenapa lagi?"

"Kebahagiaan itu tidak diukur dengan materi, tapi dengan hati."

"Naufal itu dari keluarga baik-baik. Status pendidikannya juga baik, tentu hatinya juga baik."

"Bukan itu maksud ibu, maksudnya tergantung hati Habbibah. Lah, Habbibah yang mau menjalani."

***

Sepanjang mata memandang langit biru masih membentang. Angin bertiup menerbangkan daun kering, membawanya terombang-ambing mengikuti kemana pun arah angin itu berhembus.

Pucuk-pucuk pohon nampak ramai dengan gerombolan burung yang terbang kesana-kemari seolah bermain menikmati mentari yang sesaat lagi akan tenggelam untuk memberi peranan kepada bulan mengisi hari ini.
Sepanjang taman, terlihat bunga-bunga bermekaran menjadi pemandangan menyenangkan dipandang.

Taman Gondang Manis di daerah Dersalam itu ramai dengan remaja yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Karena lokasinya yang memang dekat dengan beberapa sekolah menengah, juga dekat dengan Universita Muria Kudus tempat Habbibah dan Airin kuliah.

Kesejukan dan keasrian Taman Gondang Manis yang sangat terawat menjadikan tempat ini nyaman untuk menikmati suasana sore. Sejak SMP, Habbibah dan Airin biasa duduk sekedar bercerita atau membaca buku di taman ini selepas pulang sekolah.

Mukadimah Cinta [ Sudah Terbit ]Where stories live. Discover now