DUA

136K 5K 175
                                    

Bagi Nara, dijodohkan oleh orang tua adalah sebuah musibah. Bertahun-tahun menutupi hati dari seluruh pria yang mencoba mendekatinya, entah kenapa hati kecilnya selalu mengatakan bahwa 'ini salah' ketika mencoba mengenal seorang pria.

Nara menghela napas kasar seraya meraih ponsel yang berada di atas nakas dan mengirimkan pesan kepada sahabatnya. Mengajak wanita itu untuk meminum kopi sembari bercerita tentang masalah yang ia alami.

"Kenapa? Tumben ngajak ngopi? Agatha menatap wanita di depannya ini dengan tatapan penuh tanya.

Nara menghela napas pelan sebelum bercerita, dan mungkin ia akan mendapat solusi.

Nara menekan kombinasi angka dipintu apartemen dan berjalan menuju dapur untuk menaruh barang-barang yang telah ia beli ke dalam lemari.

Setelah selesai merapikan semua barang di tempat yang sesuai, Nara langsung membersihkan seluruh lantai, tak lupa ia pun merapihkan kamar tamu yang akan Lisa tempati untuk beberapa hari ke depan.

Dibutuhkan waktu hampir satu jam untuknya membereskan seluruh apartemen.

Jam sudah menunjukan pukul tiga sore dan itu artinya Lisa sebentar lagi akan sampai, Nara sudah menawarkan dirinya untuk menjemput wanita paruh baya itu di bandara Soekarno Hatta, tapi ia menolak, katanya takut Nara terlalu lelah.

Padahal Nara senang bisa menjemput Lisa di bandara, sekalian pamer kalau dirinya sudah mahir mengendarai mobil.

Untungnya ia sudah selesai membersihkan diri ketika bel berbunyi, ia sangat yakin Lisa akan langsung memeluknya dan menanyakan 'mana calon mantu mama?'.

Sudah hampir dua tahun ia tinggal di kota orang dan selalu pertanyaan itu yang terlontar ketika mereka bertemu.

Terkadang Nara lebih memilih dimarahi oleh kedua orangtua-nya karena jarang sekali pulang untuk mengunjungi mereka, daripada harus mendengar pertanyaan semacam itu.

'Mana pacarnya?'

'Kamu masih normal, kan? Kok ngga pernah lihat kamu dekat dengan cowok.'

'Ngga usah pulang kalau ngga bawa calon mantu buat Mama.'

Begitulah kira-kira perkataan seluruh keluarganya ketika Nara pulang ke Yogyakarta. Kerumah orangtuanya.

Umur wanita ini baru menginjakan kepala dua, jadi, ia masih belum memikirkan masalah pernikahan, ia hanya memikirkan bagaimana caranya membuat kedua orangtua-nya bangga atas keberhasilan dirinya selain pernikahan. Ya, Nara yakini semua orang tua akan bahagia jika anak mereka menikah dan mempunyai keluarga yang bahagia, akan tetapi, tujuan Nara bukan hanya itu.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam Ma." Nara langsung memeluk Lisa erat.

Lisa pun mengurai pelukannya dan meraih tangan anak itu, ia melihat dengan seksama jari-jari ditangan anaknya.

"Ngga ada cincin." Lisa langsung menatap jari dan wajah Nara bergantian.

Biasanya jika anak jaman sekarang berpacaran selalu ada cincin yang melingkar di jari tengah sang pujaan hati. Seolah mengatakan kepada dunia bahwa wanita ini sudah memiliki kekasih.

"Cincin?"

"Iya. Mana cincin dari pacar kamu? Atau—Jangan bilang kamu belum punya pacar?" pertanyaan dari Lisa membuat jantung Nara berhenti sejenak. Ia masih saja terkejut akan pertanyaan semacam itu.

"Ngga perlu di jawab, Mama udah tahu jawaban aku." Nara berkata ketus.

Helo, haruskah memiliki pacar, diakui dunia dan mama sendiri.

I love you! [New Version]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora