Bagian 1

55K 1.2K 21
                                    



Hidup, jodoh, dan mati tak ada satu manusia pun dapat menerka. Kapan, dan entah seperti apa caranya tiba. Mengikuti takdir tanpa bisa memilih. Manusia hanya bisa pasrah, berserah akan ketentuan-Nya. Jika hanya sekedar daun yang jatuh saja tak akan terjadi tanpa kehendak-Nya, apalagi dengan jalan hidup manusia. Skenario Tuhan akan jauh lebih indah dari prasangka manusia.

Hal itu yang coba hati Yumna yakini saat ini.

Di antara semilir angin hawa siang yang teduh. Nanar Yumna menatap nisan kayu bertuliskan nama ayahnya. Namun tidak ada lagi air yang menetes dari matanya yang tampak membengkak. Ikhlas, sudah mampu membendung deraian itu, menghentikan tangisnya. Dan menopang hati yang nyaris ambruk, bersamaan dengan gempa bumi yang telah meluluhlantakkan tempat tinggal, juga merenggut nyawa sang ayah. Satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah bertahun lalu ibundanya berpulang ke pangkuan Tuhan. Bencana pagi tadi telah menjadikan ia sebatang kara kini.

Kenangan masa kecil, juga ingatan satu hari lalu berkelebatan dalam benaknya. Manakala pada malam yang tenang ia dan sang ayah larut dalam obrolan panjang. Mereka sepakat untuk begadang. Membicarakan banyak hal ditemani satu teko besar teh hangat tawar.

"Semoga kamu segera dipertemukan dengan lelaki yang baik ya, Nak. Supaya Bapak nanti tenang di sana." Suara sang ayah terngiang lagi di telinga Yumna. Protes ia kala itu, mendengar ucap lelaki berambut putih di sampingnya. Ia tak pernah menduga bahwa mungkin itulah isyarat untuk kepergiannya.

...

Cukup lama Yumna bertahan di samping pusara sang ayah, yang hanya berupa gundukan tanah polos tanpa taburan bunga. Kemudian gadis itu bangkit. Gontai ia melangkah, menyusuri jalan berdebu di antara sibuk lalu-lalang kepanikan warga.

Berdiri mematung gadis itu memandang rumah yang telah rata dengan tanah. Bangunan sederhana yang menyimpan begitu banyak kenangan indah, juga pelajaran hidup yang sangat mahal. Tempat ia dilahirkan dan tumbuh besar dalam dekapan kasih sayang ayah dan ibu.

Tak hanya rumahnya yang roboh, di sekelilingnya rumah lain pun ambruk. Beberapa orang sedang mendapat perawatan di posko pengobatan, beberapa lainnya tengah mengais sisa-sisa reruntuhan. Suara rintihan terdengar di mana-mana, juga di dalam hatinya.

Kakinya yang telanjang menyusuri puing-puing, mengumpulkan barang-barang milik mendiang sang ayah, lalu dipeluknya erat di dadanya. Ada sesal yang menggenang di sana. Andai saja pagi itu ia tak memilih pergi bekerja, meninggalkan ayahnya sendirian di rumah. Padahal entah mengapa saat itu perasaannya sangat tidak enak, tak tentu rudu. Lalu tanpa diduga bencana itu terjadi, ayahnya yang mulai renta tak dapat menyelamatkan diri. Betapa pun ia menyadari, takdir memang apa yang telah terjadi. Tapi andai saja bisa, ingin sekali ia memutar waktu kembali.

Lalu seseorang datang mengangkat tubuhnya. Bergeming Yumna, menurut saja ia dituntun menuju tenda pengungsian. Beberapa luka kecil di kaki juga wajahnya mulai diobati. Namun perih itu justru berasal dari dalam hati.

...

Hari berganti, Yumna dan beberapa orang di sana masih dalam trauma yang sama. Masih enggan ia untuk bicara. Menjawab tanya yang ditujukan padanya hanya dengan anggukan atau gelengan kepala. Tinggal bersama korban bencana lainnya di bawah atap tenda terpal. Berbahu-bahu mereka membangun kembali asa, menata hidup, mencari hikmah dari apa yang Tuhan kehendaki terjadi.

Bencana hari itu pun seketika menjadi pemberitaan nasional. Menjadi pusat perhatian khalayak ramai.

Silih berganti bala bantuan datang, beberapa lainnya memanjatkan doa dari kejauhan.

"Bilal ... kemari, Nak," sahut seorang lelaki tua di depan televisinya. Beberapa kali tangannya membetulkan letak kacamata di pangkal hidungnya. Lalu dengan seksama ia menyaksikan berita perihal gempa bumi yang sedang menjadi topik utama.

MADU (OPEN PRE ORDER)Where stories live. Discover now