chapter 2

22.7K 1K 14
                                    

Begitu aku sampai di kosan, aku buru-buru mandi dan membuka kontak sahabatku sejak SMP, Zivana.

Me : ziiiiii

Zivana : yeees, ada apa?

Me : inget si adrian gaaa? Temen kita yang smp itu tuh yang kerempeng

Zivana : oh yang maneh keceng itu ya?

Me : iya dan sekarang dia SEKANTOR sama gueeee HAHAHA

Zivana : you say whaaaaaaaaaaa????

Sekedar untuk memberi tahu, Zivana adalah sahabatku yang paling kental. Kami bersahabat sejak kelas 1 SMP sampai detik ini. Berbeda denganku yang berfisik biasa ini, Zivana memiliki paras yang cantik dan tubuh yang tinggi. Kepribadian kami pun berbeda, aku cenderung gloomy sementara meskipun ia pendiam, tapi banyak laki-laki yang penasaran dibuatnya.

***

Hal yang paling membuatku bahagia sekarang adalah... duduk semeja dengan Adrian! Emang sih gak berdua, tapi kalo ada di area jangkauan bareng kecengan kamu siapa sih yang gak seneng?! Aku menutupi kegugupanku dengan berbincang dengan yang lainnya.

“Sa, lo balik?” tanya Caca.

“Iya,” jawabku.

“Naik apa? Kereta?”

“Kagak. Keabisan gue. Besok pagi paling naik bus, gue udah telepon travel pada abis tiketnya.”

“Eh, Sa, kalo mau balik mending nebeng Adrian aja,” kata Daud.

“Nebeng?!” Caca lebih semangat saat mendengar hal ini.

“Iya. Lo balik kan, Yan?” tanya Daud.

“Iya,” jawab Adrian.

“Sa, lumayan gak ngongkos!” kata Caca sambil memukul pangkal lenganku.

“Aw! Nggak ah, ntar ngerepotin,” kataku.

“Nggak kok. Mau ikut?” tanya Adrian.

“Mau lah pasti, cuma dia kan malu-maluin jadi gak ngomong,” jawab Caca.

Aku menendang kaki Caca. “Ya udah bareng aja,” kataku.

Caca langsung nyengir-nyengir gimana gitu. Firasat dia bakal laporan ke yayang Kerry tercintanya mengenai perkembanganku.

“Eh, tapi belom beres-beres, deng. Sok aja duluan,” kataku.

“Saya juga belom beres-beres,” kata Adrian.

“Kamu ngekos? Kosan kamu di mana?” tanyaku.

“Ucuuuuuuuu!” jerit Caca yang memanggilku dengan versi sok imutnya bungsu.

“Apa?” tanyaku.

“Elu sekosan sama dia! Elu gak tau, Cuuuu?” tanya Caca.

“Hah? Iya, gitu?” aku yang tidak tahu malah balik bertanya.

“Waktu saya masuk ke situ, ibu kosnya bilang kalau ada anak sini juga yang kos di situ. Namanya Isa,” jelas Adrian.

“Yang namanya Isa di sini emang gue aja ya, Ca?” tanyaku.

“Nggak! Ada juga Isabella!” jawab Caca ketus.

“Yeee kok elu yang bete sih, Ca?” tanyaku.

“Emosi gue punya temen kayak lo!” kata Caca.

“Uuuuuu ada yang marah. Uuuuuu jangan bilang Mama yaaa,” kataku sambil memeluk Caca. Salah satu bentuk balas dendamku padanya.

***

Maka, inilah kami. Aku duduk diam di samping Adrian yang sibuk menyetir. Suasana begitu hening dan –euh– mencekam. Inilah yang dinamakan mati gaya.

Sengaja aku membuka tas ranselku dan mengeluarkan Lays ukuran besar dari dalamnya. Aku buka bungkusnya dan makan satu buah.

“Ngemil, Yan,” kataku sambil menyodorkan bungkus Lays tersebut.

Adrian mengambil beberapa buah dengan tangan kirinya lalu berterima kasih padaku sebelum memakannya.

Hening lagi. Itu artinya? Mati gaya lagi! Sumpah aku mulai merasa tidak nyaman. Lebih baik aku duduk sendirian di bus dengan seseorang yang tidak kukenal duduk di sampingku daripada duduk berdua dengan seseorang yang kukenal tapi kami sama sekali tidak bertegur sapa.

Gara-gara aku makan sambil melamun, maka aku tersedak. Betapa tololnya berlaku seperti ini di depan seseorang yang kau... keceng. Ya, kau keceng. Asal kau tahu, aku sudah mengeceng Adrian sejak masa SMP! Kini bisa berduaan dengannya begini saja sudah sukses membuatku gugup dan berlaku tolol seperti ini.

“Eh, Sa, gak apa-apa kamu?” tanya Adrian.

Aku megap-megap karena sulit menjawab sambil mengodok tas ranselku untuk mengambil botol air mineral. Adrian memperlambat laju mobilnya dan sesekali menatapku.

“Ggggak apppaa-apppa,” jawabku dengan sulit. Akhirnya botol air mineral yang kubawa berhasil kudapatkan. Buru-buru aku minum dan akhirnya aku pun  terbebas dari derita tersedak.

“Kamu tuh aneh ya, bisa keselek gitu. Gak usah buru-buru makannya, santai aja kali,” kata Adrian.

“Euh, iya nih akunya bloon banget,” kataku.

Hening lagi. Oh Tuhaaaaan, kenapa waktu terasa begitu lambat?! Lama-lama aku ingin membuka seat belt, membuka pintu di sampingku, lalu melompat ke luar dari mobil. Selagi hening melanda, tiba-tiba Adrian terbatuk.

“Nah, kan, keselek juga!” kataku.

“Ohok, ohok! Air, Sa,” kata Adrian dengan terbata.

Aku membuka tutup botol air mineralku dan memberikannya pada Adrian. Adrian langsung minum secepat ia mampu.

“Thanks, Sa,” kata Adrian.

“Kamu sendiri keselek,” kataku.

“Ha-ha. Iya, abis nyetir sambil makan sih...”

“Are you trying to make excuse?”

“Honestly, yes.”

“Yan, is it really okay if we’re together like this?”

“Maksud kamu?”

“You know. It’s just you and me, nobody else. Pacar kamu tau gak?”

“Oala... Mana tau dia.”

“Kamu gak ngomong?”

“Udahlah... Lagi berantem ini. Jangan tegang gitu, dia gak bakal labrak kamu.’

“Yan, mending turunin aku di depan deh biar aku naik bus aja.”

“Yeee, udah syukur saya punya temen pulang, tapi kamu malah gak mau nemenin saya.”

Ke mana perginya hidungku?! Aku harus segera mendapatkannya. Uh, aku berhasil mendapatkan hidungku kembali ketika teringat Adrian sudah punya pacar.

Setelah ia berkata seperti itu, kami mulai mengobrol soal teman-teman, kantor, dan alasan Adrian pindah bekerja.

“Gaji sama gengsi lebih gede di kantor yang sekarang,” jelas Adrian.

a thousand origamiWhere stories live. Discover now