chapter 20

15.2K 699 18
                                    

Aku dan Darrel memulai kehidupan baru kami di Bandung. Aku sengaja memasukkan Darrel ke full day school agar aku tidak perlu khawatir bekerja. Hasil dari sekolahnya di Bandung membuat Darrel menjadi lebih polos, tidak dewasa sebelum waktunya seperti saat ia bersekolah di Jakarta. Oh iya, sepertinya Darrel jadi pujangga anak-anak cewek di sekolahnya sehingga aku tidak memberinya smartphone, tapi ponsel biasa yang bahkan layarnya hitam-putih. Memang sih aku kelewat sadis untuk ukuran orang tua, tapi maksudku kan tidak buruk. Kali ini Darrel membujukku untuk membelikannya hp baru.

“Mimi, Darrel mau hp bagus kayak punyanya Vero...” kata Darrel.

“Terus kalo hp-nya bagus dipake buat apa?” tanyaku.

“Buat main game lah, Mi...” jawab Darrel.

“Maksudnya dipake pas di sekolah?”

“Iya...”

“Pas Darrel belajar?”

“Nggak... pas Darrel istirahat.”

“Pinjem aja punya Vero, ya?”

“Tapi Darrel pengen punya sendiri. Katanya hp Darrel butut.”

“Terus Darrel jadi malu kalo hp-nya butut?”

“Iya...”

“Darrel, kenapa coba Mimi gak mau ngasih Darrel hp yang bagus-bagus? Belum saatnya Darrel punya. Mimi selalu bilang kan ke Darrel kalau Darrel tuh main aja sama anak komplek, sepedahan, lari-lari, main roller blade, kalau nggak ucing sumput atau main bola daripada mainan gadget. Mimi bukannya ngajarin Darrel untuk jadi ketinggalan zaman, tapi Mimi mau Darrel tumbuh seperti anak pada seharusnya bukan anak yang dewasa sebelum waktunya. Darrel ngerti gak maksud Mimi apa?”

“Nggak.”

“Gini, Rel, kalau Darrel punya hp bagus-bagus, Darrel pasti aja mainannya sama hp terus. Mimi takut Darrel jadi kayak Mimi, dikit-dikit sakit karena Mimi kurang gerak. Kalau Darrel mainnya kayak orang kampung, Darrel akan terbiasa berolahraga dan tubuh Darrel juga jadi kuat. Darrel juga bisa jadi lebih cerdas meskipun Darrel gak main game-game ilmu pengetahuan di gadget yang bagus itu. Apa Darrel gak percaya Mimi kasih yang terbaik untuk Darrel?”

“Darrel percaya sama Mimi.”

“Darreeeeeeel! Main yuk!” panggil beberapa anak kecil di luar rumah kecil kami.

“Tuh, main sana,” kataku.

“Darrel main dulu ya,” kata Darrel sambil berlari ke luar rumah.

Aku mengambil foto keluarga kami yang terletak di ruang tamu mungil rumah kontrakan ini.

“Anak kita tumbuh sehat, Mas,” kataku pada foto kami.

Aku ingin sekali melihat senyum Faldy seperti yang ada di foto ini dalam wujud asli. Aku benar-benar merindukannya.

Kusimpan foto itu di tempatnya semula dan mencuri pandang pada Darrel yang bermain engklek di jalanan komplek bersama teman-temannya.

“Lasut, lasut! Darrel lasut!” kata teman-temannya.

“Kenapa lasut?” tanya Darrel.

“Soalnya Darrel nginjek garis,” jawab salah satu temannya.

Aku tertawa melihat Darrel yang kebingungan. Sepertinya salah satu temannya yang mengajarkan cara bermain engklek. Aku jadi teringat masa kecilku sendiri saat bermain itu. Seru sekali, permainan tradisional memang the best.

***

Hidupku duluuuu tak begini~ (plesetan lagu bajuku dulu tak begini). Aku menyanyi dalam hati selagi memeriksa hasil UAS mahasiswaku. Hasilnya? Halah, nilainya do re mi fa sol fa mi re do. Gak ada yang yang dapet nilai sempurna, kayaknya masih aja ada yang gak paham. Padahal apa sih susahnya Makro Ekonomi? Pengantar doang pula... Oke, bukan maksud aku ngegampangin. Emang susah sih kalau mau dapet nilai sempurna, tapi masih saja ada yang mendapat nilai 94. Siapa orangnya? Keponakanku sendiri, Rachael. Dia jadi segan untuk dekat-dekat denganku di kampus karena hubungan kami yang dekat dan ia terlihat mati-matian belajar untuk mata kuliah ini. Sepertinya ia takut mendapat nilai buruk dan aku memberi tahu kelemahannya pada ibunya. Hubungan kami yang awalnya sangat dekat harus menjauh karena aku menjadi dosen mata kuliah ini. Aku mengambil ponsel dan menelepon keponakanku itu secepat mungkin.

a thousand origamiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang