Bab 8

10.9K 1.3K 57
                                    

Menurutku perempuan itu tidak ribet. Yang mereka inginkan hanya satu hal, yakni semuanya. Cinta, waktu, materi, dan surgawi.

Setelah introgasi panjang kepada seluruh anggota keluarga Abi, kini remaja laki-laki itu masih harus menunggu sidang keputusan yang baru akan dilaksanakan lusa. Tentu saja ia harus tinggal di dalam sel Polda Metro jaya untuk saat ini.

Bagi Abi, sel tahanan yang berada di polda Metro Jaya tidak terlalu buruk. Setidaknya dalam tahanan ini semua dibedakan sesuai dengan kelas-kelas atas kesalahan masing-masing orang.

Kebetulan Abi berada dalam sel dengan dua orang remaja tanggung seusianya juga. Keduanya terlibat atas kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Namun jika hasil sidang Abi dinyatakan sebagai pemakai narkotika tersebut, maka ia akan ditahan bersamaan dengan tawanan sejenis lainnya.

"Ditahan atas kasus apa lo?" tanya salah seorang remaja yang berada di dalam sel bersama Abi.

Sejenak Abi meliriknya. Kedua teman satu selnya sudah memakai seragam tahanan. Bertuliskan Polda Metro Jaya di punggungnya.

"Gue nggak salah."

"Hahaha. Lucu lo. Mana mungkin orang nggak salah masuk sini." sahut remaja satunya.

Abi tersenyum. Mengangkat kedua sudut bibirnya. Bahkan sudah di dalam sel pun tidak ada yang mempercayainya.

"Terserah." sahut Abi santai. Abi berjalan santai, mengambil sudut terjauh dari kedua teman satu selnya. Kemudian Abi menggulung kaki celananya, begerak menuju toilet lalu berwudhu untuk bisa melaksanakan shalatnya.

Sejujurnya banyak sekali yang ingin Abi ungkapkan atas segala perasaan dan kejadian yang kini menimpa dirinya. Tapi dia sama sekali tidak percaya pada siapapun di sekitarnya. Bahkan tidak kepada kedua orang tuanya.

Ketika Abi melaksanakan sholatnya, kedua remaja itu kompak memperhatikan Abi. Mereka sering mendengar banyak orang yang taubat setelah masuk penjara atas segala kesalahan yang mereka lakukan. Tapi tidak yang seperti Abi ini. Baru hitungan jam dia berada di sel, namun gerakannya beribadah seperti orang yang biasa melakukannya.

"Boleh juga dia." gumam salah satunya.

Gerak gerik Abi melakukan shalat, sampai ia menyelesaikannya tak luput keduanya perhatikan. Banyak tanya yang keduanya ingin tanyakan pada Abi, hingga mereka rela menunggu Abi menyelesaikan shalatnya.

"Kenapa?" tanya Abi saat ia merasa dipelototi terus menerut oleh kedua teman selnya itu.

"Nggak papa. Ngerasa aneh aja kita sama tingkah lo."

Salah seorang dari mereka melirik Abi tajam, "Lo nggak habis ngebunuh orang kan? Biasanya tahanan karena pembunuhan langsung pengen tobat, karena takut merasakan hukuman seumur hidup di sel. Atau hukuman mati." sambung yang satunya.

Abi menghembuskan napas dalam. Dia menggeleng. Lalu merapikan kembali ujung celananya. "Apa yang harus kita takuti? Orang yang benar nggak akan takut dengan hukuman." jawabnya membalas tatapan kedua teman selnya. "Lagi pula, shalat itu bukan cara menghapuskan hukuman dalam penjara ini. Shalat adalah kewajiban utama seorang muslim. Shalat itu ibarat udara. Jika manusia hidup tanpa udara, apakah bisa? Nggak bisa kan. Begitulah makna shalat bagi gue, sebagai muslim. Tapi sayangnya sekarang banyak orang muslim yang berani mengatakan dirinya muslim, namun untuk shalat saja dia masih jarang-jarang. Bahkan nggak sama sekali."

"Kayaknya lo salah deh ngomong gitu ke kita. Karena kita berbeda." dikeluarkannya sebuah kalung dari dalam baju tahanannya. Kalung yang menandakan bila ada perbedaan di antara mereka.

Abi tersenyum malu. Terbiasa hidup di tengah lingkungan keluarga agamis, serta sekolah yang memang keseluruhan muridnya beragama Islam, Abi sampai lupa mentoleransi agama lain di dunia ini.

After 15 years MarriageWhere stories live. Discover now