Badai - Enam Belas

1.3K 135 5
                                    

Sebelumnya tak ada yang mampu
mengajakku untuk bertahan di kala sedih
Sebelumnya kuikat hatiku
hanya untuk aku seorang

Sekarang kau disini, hilang rasanya
semua bimbang tangis kesepian

Kau buat aku bertanya, kau buat aku mencari
tentang rasa ini, aku tak mengerti
Akankah sama jadinya bila bukan kamu
Lalu senyummu menyadarkanku, kau cinta pertama dan terakhirku

Sebelumnya tak mudah bagiku
tertawa sendiri di kehidupan yang kelam ini
Sebelumnya rasanya tak perlu membagi kisahku,
tak ada yang mengerti

Sekarang kau disini, hilang rasanya
semua bimbang tangis kesepian

* * *

Bagi Gema Guntur, hujan selalu menyimpan rahasia yang tidak akan pernah bisa dimengertinya. Seperti bagaimana awan kelabu bisa menurunkan begitu banyak tetes airnya ke bumi. Seperti bagaimana halilintar dan petir bisa keluar begitu saja saat hujan deras. Bagaimana guntur selalu datang saat hujan badai menerjang. Atau bagaimana tetes air hujan bisa menguarkan bau petrichor dari tanah basah. Semua selalu jadi rahasia bagi Gema, tidak pernah ia mengerti walau ilmu pengetahuan bisa menjelaskannya.

Termasuk Hujan di sebelahnya, yang selalu membuatnya bertanya-tanya, berapa banyak rahasia Melodi yang tidak pernah ia tahu?

Dulu, butuh waktu berminggu-minggu untuk Gema tahu tentang cerita Melodi dan adiknya. Butuh waktu berminggu-minggu untuk sekedar bertemu ibu Melodi, memperkenalkan diri sebagai teman dari si gadis introvert. Dari situ Gema belajar dan mengerti, Melodi akan butuh waktu berpikir berbulan-bulan untuk membawa Gema bertemu dengan ayahnya. Gema bersabar, karena cepat atau lambat, ia tahu hari ini akan terjadi. Ia tahu akan tiba hari dimana Melodi akan membawa Gema untuk dikenalkan pada ayahnya. Ia sudah mempersiapkan diri dari jauh-jauh hari—dan Gema mulai menyesal. Karena ternyata, setelah mempersiapkan mental sebegitu lama, tangannya tidak berhenti berkeringat dingin sejak ia dan Melodi tiba di tempat itu.

Gema mendongkak ke atas untuk mengalihkan kegugupannya, menatap pelat nama yang menghiasi atas bangunan yang berdiri menjulang di hadapannya, membacanya perlahan. Hatinya terasa getir begitu sadar dimana ia berada sekarang.

Tempat ayah Melodi dipenjara.

Melodi menyenggol tangannya pelan, membuat Gema tersadar kalau ia terlalu lama terdiam.

"Ayo," ajak Melodi, lalu melangkah lebih dahulu ke dalam bangunan itu.

Tak lama kemudian Melodi dan Gema sudah duduk di bangku ruang tunggu. Petugas sedang memanggilkan ayah Melodi dari selnya. Selama menunggu, Melodi mengayun-ayunkan kakinya, satu kebiasaan yang Gema tahu sering dilakukan Melodi saat senang berlebihan. Biasanya, Gema akan senang menggoda Melodi dengan ikut mengayun-ayunkan kakinya dan menyenggol pelan kaki gadis itu. tapi untuk sekarang, ia sama sekali tidak berselera untuk menggoda Melodi. Apalagi ketika melihat kalau orang yang sedang mereka tunggu-tunggu sudah berdiri di pintu ruangan.

Ketika pertama menatap laki-laki paruh baya itu, Gema menyadari kalau Melodi adalah duplikasi ayahnya. Mata berwarna coklat yang sedikit sipit, alis yang lebat, bibir tipis, dan raut wajah dengan gurat yang sama. Yang membedakan hanyalah hidung mereka, dimana hidung Melodi mengikuti hidung sang ibu yang kecil mungil sementara hidung sang ayah berkebalikannya. Rambutnya yang dipotong cepak sudah sedikit memutih. Tubuhnya tinggi tegap walau sedikit kurus—mungkin karena penjara membuatnya terlalu banyak berpikir, terutama memikirkan keluarga yang ditinggalkannya. Bagaimana tidak, kalau saat ia difitnah oleh banyak orang dan dijerumuskan ke dalam penjara, keluarganya harus kehilangan materi dan gadis bungsu mereka?

PetrichorDonde viven las historias. Descúbrelo ahora