A Room

153 16 4
                                    

Carissa POV

"Aku takut tidur sendiri."

Aku ingin berlari ke arah jendela dan melompat agar aku tak perlu dalam situasi ini. Dari sekian banyak hal yang bisa kukatakan, kenapa harus kalimat itu?

"Maksudku aku masih asing dan tidak nyaman dikamarku sendiri." Aku mencoba mencari penjelasan lain.

Aku tidak ingin ia berpikir kalau aku berusaha untuk tidur dengannya. Aku seharusnya tidak memperburuk keadaan dengan kalimat tadi.

"Carissa..." raut wajah Dion berubah menjadi serius.

"Aku tidak bermaksud mengajakmu tidur bersama!" pekikku. Aku takut mendengar komentarnya maka aku sebaiknya berterus terang saja.

Dion tidak bergeming.

"Aku tau." ujarnya.

"Oh..." aku sedikit lega tapi mulai menyesali apa yang telah kukatakan. Seharusnya aku tidak perlu menjelaskannya karena Dion juga tidak berpikiran seperti itu.

"Apa yang membuatmu tidak nyaman?" tanyanya.

"Oh, aku tidak mengatakan kamar itu jelek. Kasurnya bahkan lebih empuk daripada kasur di rumahku. Sangat bersih dan rapi. Aku tidak bermaksud mengatakan tidak nyaman secara fisik." aku tidak ingin Dion tersinggung.

"Apa yang membuatmu tidak nyaman?" dia mengulang pertanyaannya.

Aku terdiam. Aku tidak bisa memikirkan kebohongan lain untuk menutupinya.

"Baiklah." Dion menghela napasnya.

Ia menarik tanganku dan menutup pintu. Ia membawaku turun. Kupikir kami akan menuju kamarku tapi ia membawaku ke sisi berlawanan dari kamarku. Aku sedikit takut tapi aku tidak tau apa yang harus kulakukan.

Ia membuka pintu di depan kami. Sebuah kamar lainnya. Ketika aku mendengar pintu tertutup aku berbalik dan mendapati Dion tidak ada dibelakangku.

"Dion!" aku berusaha memutar kenop pintu tapi pintu tetap tidak terbuka. Aku merasakan telapak tangan dan kakiku mulai dingin.

Tetap tenang, ucapku ketika aku merasa oksigen disekitarku serasa terbatas.

"Dengarkan aku, Carissa." aku bisa mendengar suara Dion dibalik pintu. Ia masih disana.

Aku memusatkan pikiranku kepada suaranya.

"Katakan apa kamar ini juga tidak nyaman?" tanyanya.

Aku melihat sekeliling.

"Iya." aku mengucapkannya susah payah. Kurasa kamar ini bahkan menjadi lebih besar setiap aku mengedipkan mata.

"Tetap fokus dengan suaraku." perintahnya. Aku mengangguk walaupun aku tau ia tidak mungkin bisa melihatku.

"Apa yang kau lihat?" tanyanya.

Apa yang berusaha ia lakukan? Apa ia ingin aku menyebutkan hal gila yang kulihat sekarang?

"Carissa!" ujarnya menuntut.

Kakiku semakin dingin dan lemah hingga aku ambruk dan bersandar pada pintu.

"Semuanya semakin besar. Tolong buka pintunya, kumohon." ucapku lirih.

Aku tidak mendengar apapun lagi dari Dion. Aku mulai mendengar suara berbisik, ketukan di jendela,  dan bahkan decitan tikus. Aku menjauh dari pintu ketika mendengar suara berderit yang entah datang dari mana. Aku menempel pada dinding sambil merangkak.

"Carissa, itu tidak nyata. Kau bisa menyingkirkannya." sayup-sayup aku kembali mendengar suara Dion.

"Itu nyata!" teriakku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 30, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Stockholm SyndromeWhere stories live. Discover now