Chapter 63

1.2K 142 118
                                    

Ketika matahari menyinari, bukan hanya bumi yang ia bangunkan. Pria di sampingku pun terbangun. Perlahan-lahan tapi pasti kelopak matanya terangkat, mungkin ia merasa terlalu berat untuk melakukannya hingga menutupnya kembali.

"Sayang. . ." Gumamnya.

"Aku di sini." Kataku pelan, berbisik di depan wajahnya sementara ia mencoba kembali membuka mata.

"Apa ada lem di mataku?"

Aku terkekeh pelan. Salah satu jariku mengelus bulu matanya. Sedikit terasa kaku, mungkin karena bekas air mata yang mengering. Dan itu pun bisa menjadi alasan mengapa ia susah membuka mata.

"Tidak ada sama sekali."

"Lalu mengapa terasa berat?"

"Kau menangis tadi malam," aku mengingatkan, "ini yang akan terjadi jika kau menangis sebelum tidur. Kau akan susah terbangun."

"Jadi itu bukan mimpi." Gumamnya, sedih. Lalu tak lama matanya terbuka, ia mendapatiku menatapnya. Ada jutaan rasa kesedihan dari apa yang aku lihat. Dia masih terlalu rapuh untuk ukurannya, mencoba tegar mungkin, tapi aku terlalu tahu dirinya.

"Kita akan hadapi ini bersama." Aku mengelus pipinya. Berharap jika ada salah satu lesung pipinya yang muncul, tapi tidak. Dia terlalu sedih untuk tersenyum. Aku semakin iba dibuatnya, "selama tidak ada lagi yang kau tutupi, maka kita akan baik-baik saja." Katakan, Harry. Kumohon katakan. "Jadi, apa ada lagi yang perlu kuketahui?"

Harry terdiam. Tatapannya turun, tidak menatapku. Ia membuang pandangannya agar aku tidak melihatnya. Dan seketika hatiku terasa tercubit. Apalagi ketika ia bergumam, "tidak. Tidak ada lagi."

Dia bohong.

****

Aku mencoba tenang seperti biasa. Bahkan ketika kami berbicara sampai saat ini, aku yakin bahwa diriku tidak terlihat resah. Entah Harry memilih diam dan tidak memberitahuku atau dia memang terlalu sibuk untuk urusan kantornya sampai tidak menyadarinya. Kami melakukan rutinitas seolah tidak ada yang terjadi kemarin. Sampai saat bercintapun, kami benar-benar melupakan masalah itu. Percaya atau tidak, klimaks yang Harry berikan membuatku melupakan namaku sendiri.

"Aku akan selesaikan ini lebih cepat agar kita bisa keluar dan makan siang segera."

"Tidak," kataku. Kembali menanamkan kata santai dan tenang agar terbawa ketika aku berbicara, "aku ada janji makan siang dengan Gigi."

"Apa?" Dia mengalihkan matanya ke arahku.

Aku tersenyum. Tersenyum seolah semuanya baik-baik saja, walaupun aku berharap demikian. "Gigi dan aku ada janji makan siang. Sebenarnya dia membuat janji ini dari tiga hari yang lalu, aku bahkan lupa jika ia tidak mengabariku lima belas menit yang lalu."

"Aku akan ikut."

"Harry," aku mendesah, "Gigi dan aku akan baik-baik saja. Lagi pula, kami sudah lama sekali tidak bertemu. Setelah sekian lama dia akhirnya kembali ke London. Jadi akan banyak tangisan, histeris, pelukan, dan segala macam yang emosional. Kami perempuan akan melakukan itu beberapa kali kepada sahabatnya."

"Ken. . ."

"Kecuali kau ingin menenangkan dua perempuan yang berbagi haru, maka aku tak masalah." Harry mengehela napasnya dalam-dalam. Dia memejamkan matanya, keningnya mengerut dalam tampak berpikir keras. "Aku berjanji akan baik-baik saja."

"Kau, yang akan baik-baik saja. Aku, tidak."

"Ini hanya makan siang. Kau bisa menelponku lima belas menit sekali untuk mendengar aku menangis bersamanya." Dan jangan sampai itu terjadi.

Same Old Love and Mistakes (Hendall)Where stories live. Discover now