Tujuh Belas

26.6K 5.5K 193
                                    

Hepi reading en lope-lope yu ol, Gaesss...

**

Suasana di meja makan terasa canggung. Robby sedikit bersyukur karena ada ayahnya dan Pelita yang sepertinya tidak merasakan ketegangan itu. Keduanya bicara, saling menjawab, dan mencoba melibatkan semua orang dalam percakapan. Tentu saja Pelita tidak melakukan itu dengan sengaja. Dia memang selalu suka bicara. Teguran Hara yang menyuruhnya diam saat makan hanya diikutinya selama beberapa menit. Setelah itu, dia kembali menemukan banyak hal yang membuatnya kembali bicara, dan terus bicara.

"Teman Pelita dong, suka nggak ngabisin bekalnya," sambut Pelita cemberut saat Hara menyuruh anak itu menghabiskan sisa nasi di piringnya. "Tapi katanya sama mamanya nggak apa-apa."

"Nyisain makanan itu dosa," jawab Hara pelan.

Pelita menyendok dan menyuap sisa nasi di piringnya dengan patuh. "Kan, kalau ada sisa, biasanya Mama yang makan. Jadi nggak dosa."

Hara menundukkan wajah. Perasaan tidak nyaman saat menyadari kehadiran Robby tadi semakin bertambah. Dia sekarang menyesali telah melibatkan Robby dalam urusan pribadinya. Seharusnya dia cukup berani menghadapi Andrew sendiri. Laki-laki itu tidak berhak kembali dan menuntut apa pun dalam hidupnya. Hara tidak berutang apa pun kepadanya.

"Teman Pelita dong, udah nonton Winnie the Pooh," kata Pelita lagi. Dia sekarang sudah berganti topik. Khas balita yang tidak fokus pada satu topik. "Dia bilang, Pooh temenan sama bapak-bapak gitu. Trus, Pooh naik kereta. Trus makan madu yang banyak. Pelita juga mau nonton dong, Ma."

"Nanti kita lihat," jawab Hara pendek.

"Mama pasti nggak bisa lagi," gerutu Pelita, seolah menyalahkan Hara. "Mama kan keja terus. Tante Mika pasti bisa. Sayangnya Tante Mika-nya nggak datang-datang ke sini lagi."

Entah mengapa, tampang muram Pelita seperti mengusik Robby. "Kalau mau, nanti kita bisa nonton sama-sama," kalimat itu keluar dari mulutnya, sebelum dia benar-benar memikirkannya. Robby sedikit menyesalinya kemudian. Dia tidak ingat kapan terakhir kali masuk bioskop. Yang pasti, itu sudah sangat lama. Dia terakhir melakukannya bersama Desha. Rasanya tidak masuk akal mengajak anak kecil untuk pergi ke bioskop bersama-sama.

"Beneran, Om?" Pelita yang bertepuk tangan kegirangan semakin membuat Robby menyesal. Bodoh. Dia bahkan tidak tahu cara menghadapi anak kecil.

"Tidak perlu," sambut Hara cepat. "Saya bisa mengantar Pelita nonton akhir pekan nanti kok." Dia tidak mau merepotkan Robby yang tidak terlalu dikenalnya. Mika tidak masalah, tetapi Robby jelas bukan orang yang tepat untuk menghadapi Pelita yang cerewet. Laki-laki itu terlihat menjaga jarak dengan orangtuanya sendiri. Pelita pasti akan membuatnya sebal dengan berbagai pertanyaan dan obrolan tanpa ujung pangkal yang tidak habis-habis.

"Atau kalian nonton saja sama-sama," usul Inggrid yang sedari tadi lebih banyak diam. Dia memberanikan diri mengajukan pendapat. Ini pertama kalinya Robby terlihat peduli dengan seseorang. Dia bisa mengerti. Pelita mungkin mengingatkan Robby kepada anaknya sendiri yang tidak pernah ditemuinya. Kesadaran yang kembali mengungkit rasa bersalahnya. Perasaan yang pasti akan dia bawa sampai akhir hidup.

"Pelita mau nonton besok?" Robby tahu dia tidak mungkin membatalkan kesediaannya mengantar Pelita nonton. Anak itu pasti akan kecewa. Namun, Robby juga tidak mau mengikuti kata ibunya yang berniat melibatkan Hara. Ya, ibu Pelita itu memang keluarganya, tetapi rasanya tetap saja aneh pergi bersamanya. "Om bisa ngantar kalau besok." Dia bisa minta izin Dewa untuk tidak kembali ke kantor setelah makan siang.

"Mau, Om, mau dong!" Pelita segera bersorak. "Kalau sama Mama kelamaan. Pelita mau sama Om Robby aja. Nanti Om Robby jemput Pelita di sekolah, ya? Mau, ya? Mau dong!"

Jejak Masa Lalu (Terbit)Where stories live. Discover now