5. Mother

37.6K 3.9K 367
                                    

Sejak Kavin dan Khiya berbaikan, hubungan keduanya pun sedikit membaik. Ya, cuma sedikit, karena pada kenyataan mereka tetap sering bertengkar. Di kelas, saat tutor, bahkan saat keduanya sedang pergi berdua. Tidak ada hari yang berlalu tanpa keduanya berdebat. Meskipun begitu, hubungan keduanya menjadi semakin dekat saat ini. Kavin bukan lagi sekedar ketua kelas atau tutor pelajaran Khiya saja. Bagi Khiya, Kavin sudah seperti temannya sendiri. 

Teman yang sangat menyebalkan dengan mulutnya yang tajam.

"Lo kalau sekolah otak jangan ditinggal di tempat tidur," cibir Kavin kejam seperti biasa. "Sejam gue koar-koar sejak tadi, lo masih kagak ngerti juga?"

Khiya mengerucutkan bibirnya, di saat pemuda itu balas menatap datar.

"Ngerti. Dikit." Khiya meringis. 

Kavin memutar bola mata, jengkel.

Selama istirahat siang ini, Kavin sengaja membawa laptop dari rumah untuk mengajari Khiya program Adobe Photoshop. Minggu sebelumnya, gadis itu merengek pada Kavin agar mengajarkannya karena dia sama sekali tidak paham saat mendapatkan materi tersebut di tempat lesnya. Padahal, Kavin sendiri hanya mengetahui fungsi dasar program itu, saat mendapatkan pelajaran komputer di kelas 1.

Namun, demi Khiya, selama beberapa hari ini Kavin berusaha mempelajarinya. Dari video-video di youtube hingga manual yang dia temukan di internet. Kavin melakukannya, karena tahu, Khiya tidak punya komputer sama sekali di rumah, apalagi jaringan internet. Meskipun Khiya mengikuti les menggambar dua kali seminggu, tetapi karena minimnya waktu pertemuan, Khiya tidak bisa belajar dengan maksimal. Mengingat daya tangkapnya yang memang lambat. 

Kavin selalu menyindir Khiya dengan mengatakan percuma dirinya menambah jam kerja agar mendapatkan uang lebih untuk membayar les menggambar kalau pada akhirnya gadis itu tidak mampu mengikuti pelajarannya juga. Namun, Khiya selalu menyanggah dengan mengatakan bahwa setidaknya itu lebih baik daripada hanya bengong saja di rumah. 

Dan, pada akhirnya, tetap Kavinlah yang harus mengajari Khiya.

"Makanya lo ngajarinnya pelan-pelan lah! Udah tahu gue lemot."

"Kurang pelan apa gue ngajarin lo? Kalau yang lain, udah kelar tiga bab, Ky. Lo satu bab aja baru awalnya doang dari tadi," omel Kavin.

"Lebay lo!" sungut Khiya.

Kavin mengembuskan napas kasar. "Dari penjelasan gue sejak tadi, bagian mana yang lo nggak paham?"

Khiya berpikir sejenak, sebelum akhirnya menyengir. "Dari awal?" 

Kavin mengembuskan napasnya lelah. "Lo belajar sendiri aja sana. Nyerah gue," gerutu Kavin sambil membereskan laptop di atas mejanya. Mukanya kelihatan masam saat memasukkan laptop ke dalam tas sekolahnya.

"Jangan ngambek, ish. Lanjut pulang sekolah aja ya? Nanti gue traktir kaepci deh," bujuk Khiya sambil memelas. Namun, Kavin tetap tidak mau menatap wajah gadis itu.

"Nggak usah! Terima kasih!"

"Yakin? Gue lagi dapat kupon ayam satu bucket loh. Beneran nggak mau?" tawar Khiya lagi sambil menaikturunkan kedua alis matanya.

Kavin pada akhirnya menolehkan kepalanya, menatap Khiya yang menyengir. "Oke. Tapi, lo harus sebutin dulu nama-nama ibukota negara yang gue sebut."

"What?"

"Itu PR lo kemarin kan? Udah lo kerjain belum?" tanya Kavin menatap tajam.

Khiya pun langsung mencibirkan bibirnya pada Kavin. "Nggak asik lo."

"Mau gue ajarin Photoshop nggak?"

"Iye. Iye." 

"Ibukota Yunani?"

Been ThroughDonde viven las historias. Descúbrelo ahora