Aku, Kavi, dan Selesai

1.1K 133 8
                                    

Aku berjalan gontai dengan bahu memerosot di koridor kampus menuju kelas pagi ini. Dengan mata sembap karena tiap malam menonton film yang sangat sedih hanya agar aku punya alasan untuk menangis. Adikku bisa terbahak kalau tahu kakaknya yang bodoh ini menangis karena ditolak bahkan sebelum mengungkapkan perasaannya.

Kavi, ini sudah hari kedelapan sejak mulut bodohku keceplosan perihal perasaanku padamu. Hari di mana patah hatiku masih berlanjut dan masih akan terus berlanjut.

Juga sudah hari kedelapan aku terus menghindari hadirmu yang sebenarnya kamu tidak ingin menjumpaiku juga. Sudah hari kedelapan aku menghilang dari hadapanmu yang sebenarnya kamu tidak mengharapkan kehadiranku pula.

Ini tentang sendiri.

Tentang aku yang merindukan kamu secara sendiri; secara mandiri. Tentang aku yang menumbuhkan pohon berduri dalam dada yang kemudian tumbuh besar dan mengoyak hati dan paru-paruku sendiri.

"Edrea."

Sebenarnya, Pembaca, jatuh hati dan patah hati itu hampir tidak ada bedanya. Sama-sama bisa membuat kita berhalusinasi akan hadirnya ia yang kita cinta. Seperti sekarang, aku mendengar suara Kavi memanggilku dengan lembut sekali.

Aku tertawa tanpa suara, terus berjalan tanpa hiraukan desau angin yang menyerupai suaramu, Kavi.

"Kamu mirip zombie ...."

Aku tertawa sekali lagi. Kali ini bersuara.

Angin ini ternyata menyebalkan juga ya, Kavi, sama menyebalkannya denganmu. Menyebutku mirip zombie, padahal aku lebih mirip seperti sobekan saus sasetan. Teronggok, tak berdaya. Menunggu disapu petugas kebersihan.

"Rea, kamu sudah sarapan?"

Kali ini aku terperanjat, sebab tanganku merasakan hangatnya tanganmu yang sama hangatnya seperti saat kita menunggu lampu merah berganti hijau di atas motormu saban hari.

17.53, Kavi. Apa kamu ingat itu?

"Rea?"

Aku tergugu di tempat.

Rasanya aku ingin sekali memelukmu karena rinduku sudah terlalu menumpuk dan rasanya aku juga ingin memukulmu karena rasa sakitku sudah terlalu menyesakkan. Dan melihatmu tampak baik-baik saja, membuatku ingin membunuhmu detik ini juga. Sementara aku kehabisan stok air mata dan lupa cara untuk tersenyum, kamu masih bisa tersenyum di depanku pagi ini?

Aku benci kamu, Kavi. Tapi aku juga sangat rindu.

"Kamu sudah sarapan?"

Aku menggeleng pelan, benci terlihat lemah namun lututku rasanya lemas sekali. Kubiarkan kamu menarik tanganku yang kukira kamu mau membawaku ke kantin tetapi ternyata kita menuju parkiranㅡㅡmenuju motor besarmu yang aku rindukan juga, tepatnya.

"Nih, pake."

Déjà vu.

Pikiranku berkelana ketika aku habis berkunjung ke rumahmu dan kamu berkata akan mengantarku, dan lalu kamu menyodorkan helm sambil berkata begitu.

Aku menggeleng. Tak mau lebih banyak mengukir kenangan yang hanya akan buat aku lebih sulit melupakanmu nantinya. "Ada kelas, lima belas menit lagi."

Aku berbalik dan mulai melangkahkan kaki kalau saja lenganku tak kamu tarik hingga membuatku kembali menghadapmu.

"Maaf kalau aku selama ini nggak peka, seperti yang kamu bilang."

Tidak, Kavi. Jangan katakan.

Jangan jelaskan padaku hal-hal yang akan membuat patah hatiku jadi abadi! Persetan dengan tidak peka, persetan dengan segala sinyal-sinyalku yang tak dapat respons baik darimu! Persetan! Aku hanya ingin berlari lalu membiarkan kamu berlalu.

"Maaf juga kalau aku tanpa sadar kasih kamu bulir-bulir harapan. Maaf kalau aku membuatmu merasa spesial. Aku ..., minta maaf, Re."

Aku tidak akan menangis. Seorang Edrea tidak akan menangis. Aku hanya akan menangis kalau sedang menonton film yang paling sedih saja. Tidak untuk kehidupan nyataku. Tidak akan!

"Maaf kalau ada perkataanku yangㅡ"

"Berhenti meminta maaf karena di sini cuma aku yang salah, Kavi. Berhenti ...."

Dadaku sesak sekali. Pandanganku memburam. Kacamataku pun ikut mengembun.

"Selama delapan hari, aku mikirin ini. Berpikir, merasa, bertanya. Sebenarnya gimana perasaan aku ke kamu?" Kamu bertanya sendiri. Membuat dadaku berdebar dan berkedut ngilu secara bersamaan. "Dan aku sudah ketemu dengan jawabannya."

Ada hening yang merambati udara hampir sepuluh detik lamanya di antara kita. Sampai satu kalimat yang keluar dari bibirmu bisa membuatku tak ubahnya seekor rusa yang kehilangan arah.

"Maaf, Rea ... kamu cuma seorang teman untuk aku."

Langit cerah sekali hari ini, tapi tidak dengan suasana hatiku. Petir bahkan menggelegar dari balik dadaku. Ikut membelah hatiku yang sebenarnya sudah hancur, sejak delapan hari yang lalu.

Aku melepas kacamata dan memasukkannya secara paksa ke dalam tasku. Kutepuk-tepuk pelan jok motor besarmu.

"Di atas sini, Kavi. Aku pernah duduk di belakangmu sambil menunggu lampu merah berganti hijau." Kuusap air mata yang dengan sialannya meleleh sendiri di pipi. "Sebelum naik ke sini, Kavi, aku pernah berdebar-debar lebih dulu hanya dengan memikirkan gimana aku harus berpegangan."

"Reㅡ"

"Jam tangan ini, Kavi." Aku mengangkat lengan kiriku, "jam tangan ini selalu kupakai padahal aku punya enam jam tangan lainnya hanya karena kamu menyuruhku mengingatkan waktu; 17:53. Waktu saat pertama kali kamu duduk di atas motor besarmu dengan seorang perempuanㅡㅡyang sialnya, itu aku.

"Karena kamu, Kavi, aku jadi suka hujan yang selalu aku kambing hitamkan. Aku juga jadi suka permen kapas yang buat gigiku ngilu. Aku jadi suka dengan apa-apa yang kamu tawarkan."

"Rea ...."

"Aku benci harus jadi yang pertama karena nyatanya aku nggak bisa jadi yang terakhir."

Kamu tak lagi angkat suara. Kutepis tanganmu yang mencoba menyentuh lenganku.

"Sampai di sini, Kavi. Sampai di sini saja kamu jadi bagian dari ceritaku. Terima kasih karena sudah menyadarkan aku untuk nggak lagi menanam bunga di halaman rumah seseorang yang nggak mau merawatnya."

"Rea, aku minta maaf ...."

"Bunga-bungaku sekarang sudah resmi mati, Kavi. Bukan mati sendiri, melainkan dimatikan secara paksa."

"Tapi aku nggak mau kehilangan kamu, Re. Kamu temanku."

Aku tertawa sumbang dan menggeleng pelan. "Teman bisa kamu cari, Kavi. Tapi gimana dengan aku? Obat untuk hatiku? Aku yakin aku nggak akan bisa lupain kamu kalau kita masih sering berkomunikasi."

Kamu terdiam, menatapku yang tengah berduka. Berduka atas hatiku yang mati. Berduka atas bunga-bungaku yang dipaksa mati.

Aku berbalik, dengan langkah terhuyung aku berlari meninggalkan kamu yang memang tidak akan pernah mengejar.

"Rea! Kita masih akan bertemu!"

Tidak, Kavi. Terima kasih.

Melihatmu lagi hanya akan menyadarkanku kembali, bahwa keterdekatan yang tercipta di antara kita, membuatku semakin sulit untuk menggapaimu.

*****

Aku dan Kavi [1/3]Where stories live. Discover now