🍀 Mereka yang peduli

328 41 5
                                    

Juna
Al, lo pergi ke klinik tadi? Sakit apa katanya? Lo dikasih obat apa aja? Sekarang kondisi lo gimana? Gue pengin ke sana, tapi tadi pagi ke gereja. Sekarang di rumah lagi ada keluarga dari papa juga.

Aldi yang baru saja terjaga dari tidurnya hanya menggeleng membaca pesan yang dikirim sahabatnya. Namun, perasaannya kembali menghangat menerima perhatian dari Juna. Sesibuk apa pun, anak itu pasti menyempatkan diri menanyakan keadaannya, apalagi tahu kalau sekarang Aldi tengah sakit. Bahkan, ketika di asrama, Juna yang hanya diberi waktu dua jam untuk memegang ponsel—di hari biasa—akan selalu mengiriminya pesan atau paling tidak menelepon, walaupun tak lama.

Beruntung sekali ia memiliki sahabat seperti Juna dan Aries.

Tangan pemuda itu mulai menari di atas layar ponselnya, mengetik balasan untuk Juna.

Me
Kok lo tahu?
Cuma masalah lambung, Jun.
Gradilex, ondansetron, pharolit, hufamaag, radin, fasidol.
Santai, gue gak pa-pa kok.

Juna
Sebanyak itu? Gila!
MAKANYA JAGA KESEHATAN. KURANGIN MINUM KOPI SAMA MAKAN MIE INSTAN. GUE SERET LO KE RUMAH SAKIT KALAU MASIH BATU.

Sekali lagi senyum manis tercetak di bibir Aldi. Ini satu dari sekian banyak keuntungan memiliki sahabat rasa saudara, ketika keluarganya jauh pun seolah ada di depan mata.

Me
Iya, siap. Bawel amat lo

Juna
Bawel tanda apa coba, gue tanya?

Me
Emh, lo gak belok, 'kan?

Juna
Pala lo sini gue bikin belok!

Pemuda itu memejamkan mata saat sensasi mual kembali menyerang. Padahal, ondansetron yang notabene bekerja sebagai antiemetik telah ditelannya. Pun obat-obatan lambung seperti hufamaag dan radin.

"Ayo kuat, Al. Penyakit kalau dimanjain nanti ngelunjak. Kalau tidur terus kapan buku lo bisa terbit? Kapan lo bisa dikenal? Kapan lo punya duit? Dan kapan lo bisa kuliah? Oke, semangat!"

Pemuda itu menyemangati dirinya sendiri, kemudian bangkit dari tidurnya, meski beberapa saat setelahnya ia kembali terdiam, menghalau pening yang dengan kuat menghantam kepalanya.

Aldi memaksakan diri mengambil laptop dan buku tulis yang sudah tak beraturan bentuknya. Di sana biasanya ia menyusun konsep atau menulis outline kasar untuk cerita-ceritanya. Mulai memecah ide-ide yang tertuang menjadi beberapa bab, lalu mengembangkannya.

***

Yua membanting tubuhnya di atas tempat tidur. Sosok Aldi terus berputar-putar di otaknya. Kekagumannya bertambah setelah tanpa sengaja mendengar percakapan lelaki itu dengan adiknya. Aldi tipe orang yang bertanggung jawab dan tidak egois.

Sebetulnya Aldi bisa dengan mudah meraih apa pun yang dia mau, kuliah contohnya. Namun, lelaki itu bertanggung jawab penuh atas keluarganya. Lebih mendahulukan kepentingan ibu dan adik-adiknya.

Gadis itu menangkup wajahnya, lalu berkata, "Kata Mama kalau cari calon imam itu yang kayak Papa."

Di zaman sekarang ini jarang sekali ada orang yang bersedia mengesampingkan kepentingan pribadinya demi orang lain. Tidak salah bukan kalau Yua berharap Aldi bisa menjadi pendampingnya suatu hari nanti.

"Lama-lama otak gue isinya Aldi semua nih. Chat, ah!"

Me
Aldi!

Me
Aldi, udah baikan belum?

Me
Jangan nulis dulu
Istirahat aja sampai sembuh

Aldi
Kalau gue enggak nulis, nasib pembaca gue gimana?

Me
Kalau lo mati, nasib keluarga lo gimana?
Prioritaskan mana yang harus diprioritaskan, Al.

Me
Kesehatan lo lebih penting.

Aldi
Pembaca gue juga penting.

Me
Kalau gue?

Aldi
Tidur sana. Mulai ngelantur lo.

Bibir Yua mengerucut. Selalu saja begitu setiap diajak serius.

***

Aries mengetuk pintu indekos sahabatnya perlahan. Jujur ia cemas karena kondisi Aldi tak juga membaik. Jadi, sepulang acara Aries langsung bergegas menemui sahabatnya.

Tak lama, pintu terbuka. Sosok Aldi muncul dengan kondisi yang sepertinya tak jauh berbeda dari sebelumnya.

"Muka lo makin lecek aja," sindir pemuda itu sembari melangkah masuk mendahului Aldi.

Aldi memaksakan seulas senyum. "Udah kodratnya begini."

"Jangan begadang terus, Al. Nulis boleh, tapi sadar kondisi. Semua enggak akan ada gunanya kalau lo sakit. Kasih kesempatan buat badan lo istirahat."

"Mepet deadline. Gue enggak bisa santai. Apalagi otak enggak bisa diajak kerja sama."

"Karena dia capek dan butuh istirahat."

"Susah emang ngomong sama orang yang otaknya dari semen."

Sekali lagi Aldi terkekeh. "Lo baru balik?"

"Iya. Juna nyuruh gue lihat lo. Soalnya kata dia lo sampai harus dapat banyak obat."

"Otak gue udah enggak bisa diajak mikir, jadinya stres. Lambung akhirnya protes."

"Jadi penulis ternyata enggak segampang yang gue pikir. Mending main drum, pake otak juga sih, tapi enggak seberat itu."

"Duitnya juga lebih gede dan menjanjikan, 'kan? Apalagi lo multitalenta."

"Besar kecil relatif sebenarnya. Tergantung kebutuhan. Karena beban lo banyak, jadi sebesar apa pun yang lo dapat enggak bakal cukup. Karena gue hidup sendiri, itu lebih dari cukup."

Aldi berbaring, sorotnya terpusat pada langit-langit kamar. "Gue kadang capek dan pengin berhenti di sini, tapi nasib keluarga gue gimana kalau gue mati? Bahkan cuma mikirin itu aja bikin gue takut."

Aries terdiam. Ia tahu betul beban yang dipikul sahabatnya. Dan sampai saat ini, Aries tidak tahu bagaimana cara membantu Aldi. Aldi jelas akan tersinggung jika ia terang-terangan memberi.

"Gue enggak tahu harus ngomong apa. Tapi, ketika Tuhan memberikan masalah cobaan yang berat buat lo, gue tahu Dia pasti yakin memilih orang yang tepat. Tuhan yakin lo bisa menghadapinya. Jadi, jangan pernah berpikir buat menyerah sekarang, Al. Sulit pasti, tapi lo pasti bisa."

--tbc--

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Never Lose HopeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang