Konspirasi Alam Semesta: 14

12.6K 2.1K 103
                                    

Setelah membuat mas Rama puas dengan aku yang menurutinya untuk pergi ke rumah sakit.

Baru kali ini ada orang berlebihan sepertinya. Ini cuma mimisan, karena aku terlalu lelah. Dan sudah menjadi kebiasaan tubuhku. Dokter pun membenarkan. Tapi serangkaian cek kesehatan masih harus kujalani. Karena perintah sang Putra Mahkota.

Dalam perjalanan pulang, yang mana di dalam mobil hanya kami berdua, dengan kedua mataku pura-pura terpejam. Terlalu malas untuk berdebat mulut lagi dengan suamiku itu.

Ponsel mas Rama berdering, dengan cepat Ia mengangkat telepon yang entah dari siapa. Tapi perasaanku kuat bahwa itu telepon dari Amithya.

"Ya, Bu?"

Oh maaf. Bukan. Dari ibunya..

Kondisi sakit seperti sekarang membuat kepekaanku berkurang.

"Iya. Dia baik. Cuma kelelahan."

"..."

"Iya, Bu."

Dan telepon pun tertutup. Hanya berselang beberapa detik saja, ponsel mas Rama berbunyi lagi.

"Ya?"

Kali ini tebakanku pasti benar. Pasti perempuan itu yang menelepon.

"Setelah antar Ayun ke rumah, aku kesana."

"..."

"Dia baik, cuma kelelahan."

"..."

"Vitaminnya habis? Nanti sekalian aku yang beli."

"..."

"Ya."

Mendengar percakapan itu sontak membuat mataku panas dan seketika berair. Untungnya aku bisa mengendalikan diri. Cairan mata itu tidak sampai jatuh.

Aku menangis bukan karena cemburu, tapi karena mengasihani diri sendiri.

Sesampainya di rumah, mas Rama segera pergi entah menuju kemana, yang jelas untuk bertemu perempuan itu. Sebelumnya Ia memastikan Sundari mengganti pakaianku—seperti aku sudah tidak bisa melakukannya sendiri—memberiku makan dan meminum obat.

Sepeninggal Sundari, aku segera mengecek ponselku dan membuka aplikasi pencarian tiket pesawat. Aku harus pulang.

Sepertinya alam sedang mendukungku. Begitu mudah cara-cara dan alasanku yang bisa mengelabui para penjaga, juga dengan supir yang ditugaskan untuk mengantarku kemana pun.

Aku hanya membawa tas kecil berisikan dompet, ponsel dan beberapa perlengkapan penting pendukungku untuk kabur. Bahkan pasporku tidak tertinggal.

Outer berupa blazer kusampirkan, daripada terlalu kentara untuk seseorang yang hanya akan pergi ke mall. Karena pakaian itu terlalu rapi untukku hanya untuk berkunjung ke mall.

"Put.. standby?"

"Lo parah ya, Yun. Udah gak cerita ada apa, sekarang gue disuruh berpartisipasi atas kaburnya lo. Tapi gue akan tetap pasang badan untuk lo, Yun."

"Siapa yang bilang gue kabur? Gue cuma mau istirahat sebentar. Lo kira jadi istri gak capek apa. Udah, gue otw ke mobil lo."

Sambungan telepon kuputus begitu sudah sampai mall, aku sengaja berputar-putar dulu selama 10 menit sebelum mengubungi Putera.

Sesampainya di mobil Putera dengan selamat tanpa ada gangguan, aku segera melesat ke bandara. Putera masih memasang wajah kesalnya padaku, tapi tidak ada yang bisa Ia perbuat selain menolongku.

"Lo bener cuma tiga hari aja kan? Kasihan suami lo tanpa istrinya nanti dia jadi apa."

"Sok tahu lo. Kayak kenal aja."

"Gue bener-bener gak nyangka. Lo yang diam selama ini, tiba-tiba menikah, sekarang main petak umpet sama suami. Woy, main petak umpet tuh si Naomi cocok."

"Haha, salam ya buat ponakan lo yang manis itu. Gue pergi dulu, Put. Thank you for your help."

"Anytime.."

***
Penerbangan berjalan sedikit tidak mulus. Entah bagaimana ramalan cuacanya, tiba-tiba saja hujan dan pesawat sedikit mengalami guncangan. Beruntungnya pesawat mendarat dengan baik.

Begitu masuk taksi bandara aku segera menelepon Mama. Aku mengatakan bahwa ingin rehat sejenak, sedangkan mas Rama sedang bisnis trip ke luar negeri sehingga aku diijinkan untuk pulang ke rumah orang tuaku.

"Kamu kenapa nggak minta jemput?" Sambut Mama padaku begitu sampai rumah.

"Males ah. Nungguin Mama pasti lebih lama, cepet juga naik taksi tinggal duduk, sampai."

"Ya udah sana naik ke kamar istirahat dulu. Nanti makan bareng."

"Oke."

Sampai di kamar tidurku yang dulu, rasanya air mataku segera merebak. Aku sangat rindu Ayun yang dulu, kehidupanku sebelum ini, kamarku, rumahku, orang tuaku. Semuanya sebelum pernikahan ini.

Memikirkan itu semua membuat kelopak mataku memberat dan kemudian aku terlelap tidur.

***
Waktu menunjukkan pukul 22.45 saat aku terbangun sendiri. Kamar sudah gelap. Segera kunyalakan lampu tidur kecil di samping kasur. Aku sedikit melamun, mempercayai bahwa saat ini aku tengah kabur dari suamiku dan pulang ke rumah orang tuaku.

Kesalahan fatal memang. Tapi sedikit saja mempedulikan perasaanku tidak salah kan?

Dengan langkah kaki yang berat aku menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar tidur ini juga. Kubuka pintu kamar mandinya dan mendapat sebuah kejutan.

Mas Rama sedang membasuh wajahnya di depan cermin.

Ini pasti mimpi.

Dia yang sudah memakai pakaian rumah seperti biasanya, kaos lengan pendek berwarna putih dan training panjang berwarna abu-abu. Lalu dia menoleh ke arahku dan berjalan menghadapku.

"Banyak yang harus kita bicarakan setelah ini, Yun."

Dan suara dengan intonasi berat itu kemudian terpecah kala Mamaku mengetuk pintu kamarku, memberitahuku untuk segera mengisi perut ini dengan makanan.

Sejak kapan dia sampai di rumah ini??

Konspirasi Alam SemestaWhere stories live. Discover now