Enam

68K 5.3K 88
                                    

Langkah kaki Vania menderap malas menuju trotoar kampus. Apel penyambutan mahasiswa baru telah selesai beberapa menit yang lalu. Ribuan anak muda itu segera menghambur menuju fakultas masing-masing. Mereka berjalan tergopoh saat suara keras dari balik toa meminta segera bergegas menuju lapangan Fakultas Pertanian.

Vania menutup mulut dengan punggung tangan saat gadis itu menguap lebar. Dikerjapkannya mata sayu itu berulang kali. Andai tidak ada PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru), dia pasti akan memilih tidur di rumah. Tubuhnya benar-benar lelah. Delapan jam tertidur pulas semalam, nyatanya belum cukup untuk mengembalikan energinya.

Tadi pagi, dia sempat dibuat kesal karena Raka sudah membangunkannya ketika azan Subuh mulai berkumandang. Gadis itu memang tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Hanya saja, selama di Jakarta, dia sudah terbiasa bangun pukul lima pagi untuk menunaikan shalat Subuh.

Rasa kesal yang menggelung perlahan menguar saat tahu laki-laki itu sudah menyiapkan sarapan pagi di meja makan. Entah merupakan anugerah atau justru malah membuatnya semakin tidak percaya diri karena sang suami ternyata sangat lihai di dapur.

Bertahun-tahun tidak bertemu ternyata mengubah banyak hal dari sosok seorang Raka yang pernah dikenalnya dulu. Entah mengapa dia jadi berkecil hati dengan suaminya itu. Jangankan urusan dapur, hanya menyapu atau mengepel rumah saja dia tidak becus melakukannya. Maklum, ibunya memang tidak pernah mengizinkan Vania mengerjakan tugas domestik.

“Itu biar jadi tugas ART.” Begitulah yang selaludikatakan ibunya tiap kali dia ingin mengerjakan salah satu tugas rumah tangga.

Vania menghentikan langkah kakinya saat melewati sebuah pohon berukuran besar di pinggir jalan dekat dengan Danau Pertanian. Kepalanya mendongak, memandang pohon angsana yang menjulang tinggi dengan ranting-ranting yang dipenuhi oleh rerimbunan daun berbentuk bulat telur dengan ujungnya yang meruncing. Pohon inilah yang membuat kampusnya mendadak seperti musim gugur bak Negeri Sakura. Bunga angsana yang berwarna kuning itu akan mekar saat musim penghujan tiba. Ketika terguyur hujan, kuncupnya merekah, lalu berguguran esok harinya.

Sepanjang jalan kampus ini memang ditumbuhi pohon-pohon angsana yang berukuran besar, tinggi dan daunnya banyak. Karena pohonnya berjumlah banyak (apalagi dalam satu pohon bunganya tidak mekar di waktu yang sama), meskipun umur bunga—dari mekar hingga berguguran—tidak lama, sensasi musim gugur di kampus hijau ini biasanya tetap bisa dinikmati hingga lebih dari satu bulan.

Guguran mahkota angsana akan memenuhi trotoar hingga pinggir jalan sehingga terlihat indah bagi siapapun yang memandangnya. Di saat itulah, para mahasiswa akan ramai-ramai mengabadikan momen yang hanya terjadi setahun sekali itu dengan kamera ponsel. Mereka akan mencari spot terbaik, lalu mengunggahnya di Instagram dengan memberi tagar #YellowAutumn.

Bisa menyaksikan bunga-bunga angsana berguguran memang jadi salah satu alasan mengapa Vania memilih kuliah di kampus ini untuk memulai hidup mandiri. Saat pertama kali tahu di Instagram, dia langsung takjub dengan keindahannya. Awalnya, dia pikir, mungkin itu terlihat indah karena trik kamera atau aplikasi edit-an. Saat dia melihat video #YellowAutumn yang bertebaran di media sosial, ternyata memang indah sekali.

Kedua sudut bibir Vania terkulum lebar. Rasanya dia sudah tak sabar lagi untuk menyaksikan bunga angsana berguguran. Biasanya si kuning itu akan mekar, lalu berguguran antara bulan Oktober hingga November. Waktunya bisa saja berbeda dari tahun ke tahun. Terkadang awal Oktober, pertengahan atau mungkin malah akhir bulan. Tergantung kapan musim penghujan tiba.

"Cepat, Dek! Segera ke lapangan atau nanti dapat hukuman kalau telat. Saya hitung sampai sepuluh!" seru koordinator lapangan (korlap) yang kini tengah berjalan menuju persimpangan jalan masuk Fakultas Pertanian.
Vania berjengit. Tanpa pikir panjang, dia segera berlari menuju lapangan Fakultas Pertanian. Beruntunglah saat hitungan ke sepuluh, dia sudah sampai di lapangan.

Kepala gadis itu melongok ke kanan kiri. Saat menemukan di mana barisan teman-teman satu jurusan, dia segera berjingkat, merangsek ke dalam barisan tersebut. Vania tersenyum kikuk ketika perempuan berkerudung putih menoleh ke arahnya. Meski belum sempat berkenalan, dia tahu jika perempuan itu juga merupakan salah satu teman dari jurusan yang sama. Saat apel tadi, dia juga berdiri tepat di belakang perempuan itu.

Sekadar berbalas senyum, pandangannya kini tertuju pada kakak korlap yang berdiri di depan lapangan. Laki-laki berkaca mata itu tengah memberi penjelasan pada para mahasiswa baru.

Beberapa menit berjalan, tiba-tiba perutnya terasa mulas. Dia mendesis sebal. Kenapa panggilan alam selalu muncul di waktu yang nggak tepat, sih?geramnya dalam hati. Karena tidak bisa ditahan, langkahnya terayun ke arah salah satu kakak panitia yang berdiri tak jauh darinya.

"Maaf, Kak. Saya minta izin ke belakang sebentar, boleh, kan?”tanyanya sembari memegang perutnya. “Perut saya mules banget, Kak," rintihnya meyakinkan.

Perempuan berambut pendek itu memandang dengan ekspresi bosan. "Kamu nggak nyari-nyari alesan buat kabur, kan?" tuduhnya sedikit ketus.
"Beneran, Kak. Perut saya udah mulas banget. Kalau nggak percaya, kakak bisa temenin saya ke toilet," kata Vania masih berusaha meyakinkan.

Kakak panitia itu berdecak kesal. "Ya, udah buruan sana! Cepetan! Kalau udah selesai, laporan lagi sama saya."

"Iya, Kak. Makasih banyak, Kak."

Vania buru-buru berlari kecil menuju gedung berlantai tiga dengan cat perpaduan warna cokelat dan putih yang ada di sebelah selatan. Langkah gadis itu memelan saat matanya menangkap bayangan Raka yang tengah memasuki pintu di bagian belakang. Sepertinya dia baru saja sampai. Para mahasiswa yang menaiki motor biasanya akan lewat di lorong ini karena tempat parkir khusus motor berada di belakang gedung ini.
Dua pasang mata itu bersitatap. Vania buru-buru mengalihkan pandangan. Dia tidak mungkin menyapa laki-laki itu ketika mereka tengah berada di kampus seperti ini. Tanpa mengacuhkan Raka, dia terus berjalan menuju toilet yang berada di bagian kanan, berdekatan dengan pintu belakang gedung.

Bahu Vania terkulai lemah saat satu-satunya toilet untuk mahasiswa di lantai satu itu digunakan orang. Sebenarnya masih ada satu toilet di sebelah kiri yang pintunya terbuka. Namun, dia tidak mungkin nekat memasukinya sementara di bagian pintu ada peringatan jika toilet itu khusus digunakan untuk dosen dan karyawan.
Gadis itu berbalik. Raka sudah keluar gedung. Entah menuju ke mana. Mau tak mau dia harus mencari toilet sendiri. Mungkin ada toilet lain di lantai dua. Cepat-cepat dia menaiki tangga. Rasanya tumpukan sampah di perutnya ini sudah menggedor-gedor minta dikeluarkan.

Ketika mencapai tangga paling atas, dia hampir bertabrakan dengan laki-laki tinggi yang hendak menuruni tangga. Dia lantas menggeser kakinya ke kanan. Seakan mengikuti gerakannya, laki-laki itu justru menyingkir ke kanan. Saat dia pindah ke kiri, laki-laki itu malah bergerak ke arah yang sama.

Vania berdecak kesal. Didongakkan kepalanya menatap laki-laki itu tajam. "Kakak mau lewat ke mana, sih? Ke kanan atau ke kiri?"

Laki-laki berambut panjang—hanya di bagian atas—yang dicepol dengan sisi kanan dan kiri dipotong pendek itu hanya menggaruk dahinya yang tidak gatal. Dia meringis pelan. "Maaf, setiap saya mau geser, ternyata kamu juga ikut geser ke arah yang sama.”

Laki-laki berkulit sawo matang itu lantas memberi jalan kepada Vania. Saat hendak menuruni tangga, Vania memanggilnya.

"Kak, toilet di lantai ini ada di mana?" tanya Vania cepat.

Laki-laki itu mengernyit sekilas. "Ada di sebelah kiri. Sekali belok langsung ketemu sama toiletnya, kok," jawabnya kemudian.

"Makasih, Kak," ucap Vania, lalu bergegas menuju toilet dengan langkah tergopoh.

Laki-laki itu hanya menggelengkan kepala. Geli melihat reaksi gadis itu yang tampak sudah tidak tahan untuk segera menuntaskan panggilan alam.

Tbc

Yellow Autumn (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now