Pieces - 8

71.1K 11.6K 938
                                    

Me : Let me sleep
Brain : Lol, no! Let's stay awake and remember
every stupid decision you made in your life
Me : Okay

-Unknown-


Jakarta 2008

"Eh, itu si Catra kenapa sih, nanyain lo mulu? Kalian pacaran?" tanya Qanita pada Sirly. Saat ini keduanya sedang berada di rumah Qanita, tepatnya di kamar gadis itu, masih dengan seragam putih abu yang melekat di tubuh keduanya. Rencananya mereka berdua akan mengerjakan tugas sekolah bersama.

"Ya nggak lah, gue nggak mau sama dia. Heran deh, dia udah ditolak masih aja ngejer-ngejer gue," kata Sirly sebal. Gadis itu memang memiliki pesona sendiri, kulit gelap dan rambut panjangnya yang hitam dan indah, belum lagi wajahnya yang cantik dan hobi olahraga Sirly yang membuat tubuhnya indah dan semakin mempesona, pantas saja kalau banyak cowok di sekolahnya yang berusaha mendekati Sirly. Namun sampai saat ini belum ada yang berhasil meluluhkan hatinya.

Qanita mengeluarkan buku cetak fisikanya dari dalam tas, begitu juga dengan Sirly. "Kenapa nggak coba pacaran, Sir?" tanya Qanita. Mereka berdua mulai akrab sejak tahun ajaran baru, karena Qanita dan Sirly satu kelas dan duduk sebangku. Awalnya Qanita merasa kalau Sirly anak yang sombong, mengingat dia begitu populer di sekolah, namun ternyata anaknya baik. Qanita bukannya tidak cantik, gadis itu juga cantik, namun tubuhnya yang sedikit gemuk dan kacamata berbingkai besar itu yang membuat kecantikannya dilewatkan sebagian orang. Kata mama dan papanya, Qanita harus fokus sekolah, tidak boleh banyak gaya karena dia harus mengejar mimpinya untuk menjadi seorang dokter seperti semua orang di keluarga intinya.

"Gue kan sukanya yang kayak Robert Downey, Jr. Duhh... dia tuh berkharisma," kata Sirly sambil membayangkan aktor favoritnya itu.

Qanita mengerucutkan bibirnya. "Sukanya yang model Om-om, sih."

Sirly tersenyum lebar. "Katanya memang cowok yang lebih tua itu sikapnya dewasa tahu, Nit. Nggak norak kayak cowok-cowok di sekolah, yang suka pamer-pamer pas lagi main basket, mereka kira gue nggak bisa main basket apa, jump shot sama long shot aja mah kecil," kata Sirly sambil menjentikkan jarinya.

Qanita menghela napas pelan. "Gue nih, yang nggak pernah bisa olahraga. Lari keliling lapangan aja gue capek banget."

Sirly merangkul bahu sahabatnya itu. "Kamu kan pinter Nit, otak kamu encer banget. Kalau lo cowok, pasti gue udah naksir," katanya sambil tersenyum lebar.

"Ihhh kok gue geli dengernya, ya."

Sirly tertawa keras. "Eh, Nit. Haus nih," katanya sambil memegang tenggorokan.

"Astaga, gue lupa ngasih minum, Bibi lagi ke pasar kayaknya. Ambil di dapur, Sir. Gue sakit perut nih."

"Yeee, kebanyakan makan, sih." Sirly berdiri lalu berjalan menuruni tangga menuju dapur rumah Qanita. Dia memang sering menghabiskan waktu di rumah Qanita, gadis itu sering mengajaknya ke sini karena kesepian, katanya, mama dan papanya sibuk praktik, begitu juga kakaknya yang saat ini sedang menjalani program koasisten. Rumah Qanita besar dan megah, wajar saja mengingat kedua orangtuanya sama-sama dokter ternama di Jakarta. Papanya dokter jantung dan ibunya dokter anak. Kata Qanita, dia ingin menjadi dokter gigi nanti. Sirly sendiri belum memikirkan akan kuliah apa nanti, dia hanya menjalani saja kehidupan sekolahnya tanpa banyak ambisi.

Sirly membuka kulkas besar yang ada di dapur, mengambil air mineral, dua kotak susu kemasan dan beberapa camilan seperti permintaan Qanita, lalu menutup pintunya. Sirly kaget saat melihat ada cowok yang berdiri di dekat kulkas. Cowok itu memiliki tubuh yang tinggi dan atletis, wajahnya mirip dengan Qanita. Sirly sering melihat foto-foto cowok ini terpampang di dinding rumah Qanita dan juga di ponsel gadis itu. Dia pasti kakaknya Qanita, karena gadis itu hanya punya satu saudara laki-laki.

The Pieces of Memories (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now