Bagian 1

2K 22 0
                                    

Angin berhembus sepoi-sepoi, tak ada suara bising lalu lalang kendaraan, langit biru tampak cerah tanpa ada awan satupun di angkasa. Di sekeliling masih terlihat asri, banyak pepohonan yang menambah suasana menjadi sejuk. Pohon kelapa tampak melambai-lambai tertiup angin. Terdengar kicauan burung di sekitar rumah. Suasana yang jauh berbeda dengan kota tempatku tinggal selama ini.

Aku memutuskan kembali ke sini setelah beberapa tahun meninggalkan desa tercinta. Desa Srigonco, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur, suasananya tidak banyak berubah masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Hanya jalanan yang dulu berbatu sekarang sudah berubah menjadi jalanan yang beraspal. Pepohonan hijau masih ada, ladang dan sawah juga masih menjadi lahan mencari nafkah bagi warga desa. Mereka hidup damai, tentram dan rukun antar warga.

Melihat ke sekeliling, tampak bayangan masa lalu berkelebat diingatanku. Mengapa harus kembali mengingat masa lalu yang pahit dan menyakitkan. Desa ini memang penuh kenangan, baik manis maupun sakit. Tapi aku sangat menyayangi desa tercinta ini. Di sini terlahir dan dibesarkan. Hingga akhirnya memutuskan untuk mengabdi demi kemajuan desa. Membantu mencerdaskan warga desa.

Bayangan masa lalu semakin tampak jelas di pelupuk mata.

***

Januari 2006.

Dengan tergesa-gesa aku keluar dari kamar dengan memakai seragam SMP. Hari ini ada ulangan Bahasa Inggris, tak boleh terlambat. Apalagi jarak sekolah yang lumayan jauh sekitar tiga kilometer dari rumah, harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tampak emak sedang menyiapkan bekal buat bapak, aku menghampiri ke dapur yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu.

“Mak, Kira berangkat sekolah dulu ya,” ucapku sambil mencium tangan Emak.

“Iya, hati-hati ya di jalan. Yang pinter sekolahnya.” Emak mengusap kepala dengan penuh kasih sayang.

“Nggak usah sekolah! Ikut Bapak ke sawah! Anak perempuan itu nggak perlu sekolah tinggi-tinggi!” bentak Bapak yang tiba-tiba sudah ada di dapur.

Aku seketika menoleh, tampak sorot mata bapak menunjukkan kemarahan. Beliau memang tidak pernah setuju anak gadisnya bersekolah tinggi. Menurut bapak tak ada gunanya sekolah tinggi, toh nanti juga akan di dapur juga.

“Ta-tapi, Pak. Hari ini Kira ada ulangan. Kalau ndak ikut, nanti ndak bakal lulus,” kataku dengan terbata.

Mata sudah berkaca-kaca, ingin menangis rasanya. Aku tak mau berhenti sekolah, ingin sekali menjadi orang yang berguna demi nusa dan bangsa. Memajukan desa tercinta ini.

“Bagus itu. Lebih baik memang ndak usah lulus. Percuma anak gadis sekolah tinggi-tinggi!” Bapak melotot ke arahku. “Pokoknya ndak usah sekolah, berhenti saja!” bentak Bapak sambil menggebrak meja yang ada di dapur.

Aku terlonjak kaget. “Mak, bagaimana ini? Kira mau sekolah. UNAS kurang tiga bulan lagi,” ucapku sambil terisak.

Emak hanya menatap sedih, tak mampu berbuat apa-apa. Bapak orang yang keras, semua yang diucapkan harus dituruti. Hatiku sangat sakit, tak mungkin membantah apa kata bapak. Tapi aku juga ingin sekolah. Bagaimana mungkin bisa ikut membangun desa jika tak bersekolah. Air mata semakin mengalir dengan deras. Bahu berguncang hebat.

“Halah, cuma gitu aja kok nangis! Wes sana ganti baju! Ikut Bapak ke sawah.” Bapak menarikku dengan paksa.

“Pak, Kira hanya mau sekolah, ndak keluyuran.” Aku berkata dengan uraian air mata.

Bapak melotot. “Berani melawan kata orang tua sekarang ya! Apa ini namanya anak berpendidikan!” ucap Bapak sambil menampar pipi sebelah kiri.

Tangisku semakin pecah. “Sakit, Pak,” ucapku sambil memegang pipi.

Meraih MimpiWhere stories live. Discover now