selalu saja senja menjadi teman

2K 139 1
                                    

"Neng....adzan maghrib sudah lewat sepuluh menit lalu, sholat yuk, " sapuan lembut tangan bi Tinah membuyarkan lamunanku tentang Dion.

 Aku beranjak bangun, kukibaskan pasir yang menempel di celanaku, perlahan ku langkahkan kaki menuju rumah bi Tinah yang tak jauh dari pantai.

Aku menoleh lagi, warna senja selalu aku suka, seolah menyimpan misteri tentang duka dan kesedihan. Lalu teriakan bi Tinah seolah mengingatkanku agar segera masuk ke rumahnya.

***

Kembali ku hela napas, sedemikian berat melupakan semuanya tentang Dion perjalanan cinta yang sulit, restu yang tak tergapai, rasa sakit, perih yang tak tertahankan karena kami berdua bukan orang yang terbiasa nekat. Bagi kami restu orang tua adalah segalanya untuk memudahkan kami melangkah menuju jalan yang lebih lapang.

***

Ini senja keempat kunikmati lagi di tepi pantai yang mulai sunyi saat senja tiba, tiba-tiba bi Tinah memanggilku sambil tergopoh-gopoh," Neng, Neng harus pulang, bapak Neng, bapak," ujarnya menahan tangis. Dengan perasaan tak menentu, kususuri jalan pulang dengan naik mobil pickup tetangga bi Tinah. 


Sesampai di rumah hiruk pikuk, tangisan teriakan dan lain-lain, antara sadar dan tidak aku mendengar kakak berteriak, "Seharusnya kamu pulang agar bapak tidak meninggal dengan jalan seperti ini, kau tahu kan bapak punya penyakit jantung, kau membunuh bapak yang selalu merasa bersalah padamu, cinta membutakan matamu, anak durhaka kamu karena telah menyiksa bapak hingga akhir hayatnya, lalu kau puas sekarang telah membunuh bapak? Katakan pada laki-laki itu, bapak sudah matiii, bapak sudah matiiii,"

Teriakan kakakku membuat kepalaku berputar, aku diam, aku hanya berpikir, aku salah lagi dan entah suara dan dengungan apa lagi yang jelas semuanya menjadi gelap.

***

Hujan deras mengantar kepergian bapak ke tempat peristirahatan terakhir. Untunglah saat jenazah akan dimasukkan ke liang lahat, hujan hanya menyisakam gerimis, wajah sayu ibu mengantar detik-detik jenazah bapak masuk ke liang lahat, ku lihat kakak mengadzani bapak, lalu sesak yang tiba-tiba datang...gelap setelah itu. Lalu aku melihat bapak tersenyum, mengulurkan tangannya dan menghilang.

***

"Mei...bangunlah Nak, kau belum makan sejak pagi," suara lembut ibu mengelus pipiku. Ada rasa bersalah, aku telah membuat bapak dan ibu lelah memikirkanku yang tiba-tiba menghilang karena peristiwa terakhir yang membuat Dion betul-betul melepaskanku.

Bapak marah besar saat aku pulang  diantar Dion, karena biasanya aku selalu naik bus saat kembali ke kotaku, satu kalimat bapak yang membuat Dion terhenyak, " Menjauhlah dari anakku, dia anak yang manis, anak dari keluarga baik-baik, bukan keluarga penghancur kebahagiaan orang, berkacalah pada tingkah ibumu sebelum menyentuh anakku."

Kulihat napas Dion memburu dan menjawab dengan nada berat dan tegas, " Saya berjanji akan menjauhi anak bapak, meski saya sangat mencintainya, awalnya saya akan memperjuangkan cinta kami, tapi karena bapak merendahkan ibu saya, akan saya lepaskan anak bapak, serendah apapun ibu saya, tidak pantas rasanya bapak membawa-bawa ibu saya dalam masalah seperti ini, selamat malam."

Itu kalimat terakhir Dion, dan terakhir pula aku melihat punggungnya menjauh menembus kegelapan malam. Seperti orang gila kukejar Dion, kutarik tangannya. Tapi dia menepis dan berkata dengan tegas, "Pulanglah, kembalilah pada orang tuamu, kita tak mungkin lagi bersama, terima kasih sudah pernah menjalani hari-hari denganku."

Raungan sepeda motornya membelah malam. Malam itu juga dengan menembus kegelapan malam kunaiki sepeda motorku menuju kampung bi Tinah, pembantuku yang baru saja berhenti karena usianya yang sudah lanjut, tak kuhiraukan teriakan ibu waktu aku bergegas mengambil sepeda motor dan melajukan sepeda motorku dengan lelehan air mata dipipi.

Sejak itu aku tidak tahu apa yang terjadi pada bapak, ternyata penyakit jantung bapak kambuh dan akhirnya bapak meninggal. Ibu bercerita sambil menangis. Setelah aku menghilang, sebenarnya bapak tahu aku ada di rumah bi Tinah karena ternyata salah satu anak bi Tinah yang menelepon bapak dan ibu, hanya mereka membiarkan aku agar aku lebih tenang. 

Hanya bapak jadi semakin berpikir tentang aku, mengapa aku -- anak yang selama ini manis -- tiba-tiba membangkang hanya karena Dion, laki-laki yang menurut Bapak tak pantas berdiri di sampingku.

"Kau tahu Nak, kau tak mungkin bisa dengan Dion, sejak awal memang bapakmu benar-benar takkan pernah memberi kalian restu, kau dan Dion satu kota, siapa di kota ini yang tak tahu ibunya Dion? Sudara Dion ada beberapa, dan itu semua beda bapak Nak, ini kota kecil, jarum jatuh pun semua orang tahu," ujar ibuku dengan lembut.

"Tapi kan bukan salah Dion ibu, karena kita tidak bisa memilih mau dilahirkan oleh wanita yang mana," sahutku bermaksud membela Dion.

"Iyaaa, ibu paham, tapi dalam masyarakat Nak, yang namanya bibit, bebet dan bobot itu penting, dan satu hal lagi, sebelum meninggal, bapakmu berpesan, kalau bapakmu sangat menyayangimu, dia tidak ingin kamu menjadi bahan cemooh orang Nak," ujar ibu lagi dan membuat dadaku semakin sesak dan semakin bersalah pada bapak ... ampuni hamba ya Allah, rintihku dalam hati. Aku memang tak bisa memilih cintaku pada Dion sama besarnya dengan hormatku pada bapak, kalau pun aku sempat menjauh dari bapak dan ibu itu semua hanya untuk menenangkan pikiraku. Sedang Dion? sejak saat itu ia tak bisa dihubungi, nomonya pun tak bisa aku hubungi, aku kirimi pesan singkat tak pernah ia balas. bahkan terakhir aku baru tahu jika nomorku telah ia blokir, selesai sudah, aku takkan berusaha lagi, akhir cinta yang mengenaskan seperti ini tak pernah aku bayangkan terjadi padaku.


Pecinta Senja (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now