berpikir tentang senja

1.7K 110 6
                                    

Ashoka POV:

Aku melihat kesedihan yang dalam sejak bertemu, tapi aku tidak ingin tahu lebih, karena hubunganku dengannya hanya sebatas rekanan bisnis. Pertemuan kedua di pantai pun aku masih melihat mendung yang semakin kelam di matanya, aku pun tak ingin bertanya, kalau mengatakan sedih aku pun sedih, tapi hidup harus terus berjalan. Kenangan setahun lalu saat Dena dengan suara tercekat mengatakan dia harus menikah dengan laki-laki lain karena orang tuanya dililit hutang selalu terbayang di mataku, tangis sedih Dena, dan rasa hancur hatiku terus terasa sampai sekarang, ombak dan senja selalu jadi pelampiasanku untuk mengubur segalanya.

Meitri, nama yang manis, entah mengapa terlintas di otakku, aku hanya iba melihat matanya Ashokaaa bisik batinku, seolah sedih yang tak berujung, suka? tidaak tidak, lukaku masih parah, perih, aku tak ingin membuatnya semakin menganga, biarlah waktu yang menyembuhkanku.

Meitri, melintas lagi nama itu, tubuhnya yang mungil, tadi saat aku memapahnya di pantai menuju mobil, terasa semakin mungil, saat akan masuk mobil ia sempat oleng dan kepalanya menyentuh dadaku, maaf Pak katanya sambil menunduk, aku hanya menyahut pelan.

Kulitnya putih dan rambut hitam lurus sebahu. Semua yang ada padanya mungil, kecuali...aaah pikiran apa ini, sudahlah Ashoka, pulihkan lukamu, belajar tersenyum lagi, senyummu hampir hilang setahun ini, kutarik rambutku agak keras ah sakit ternyata.

"Ashoka, makanlah dulu nak, ini sudah ibu siapkan," aku tersentak, lamunanku hilang bersamaan dengan suara ibu yang lembut mengajakku makan malam. Ibu, ibuku yang sabar, kami hanya berdua, betul-betul berdua setelah bapak meninggal di usiaku yang ke 15, hidup dari warung kecil sampai akhirnya jadi toko yang lumayan besar, membuatku selalu tahu artinya berjuang dan berhemat

***

Mei:

Aku hanya ingin sendiri, dan melupakan semua yang membuatku sakit, rasa bersalah pada Dion, ucapan almarhum bapak yg selalu terngiang ditelinga seakan menambah sesak di dada, tatapan luka Dion karena ucapan bapak, seolah takkan mudah hilang dari ingatan, tapi aku harus berusaha melupakan semuanya agar aku hidup normal. Menyibukkan diri dengan segala pekerjaan di kantor adalah salah satu cara melupakan semuanya.

Ashoka, nama yang aneh, dua kali bertemu, dua kali pula tak sebaris senyum ia perlihatkan, mungkin karena aku juga tidak tersenyum, jadi impas sebenarnya, lalu umtuk apa aku mengharap senyumnya. Eh tapi kayaknya senyum deh tadi, alah sudahlah, kenapa juga mikir senyumnya. Capek deh.

Mengingat kejadian di pantai, hmm aku melihat dia orang yang care, gantle, selebihnya, dia laki-laki berhidung mancung, kulit kecoklatan, tinggi menjulang ya sudah buat apa aku mengingatnya, tidur saja, besok pekerjaan menumpuk, laporan dari beberapa manajer belum aku periksa....tidurlah Mei tidurlah.

Ashoka, tidak tidak, Dion kau di mana, aku memang tak mengharapmu kembali, terlalu luka hatimu, sehingga maafpun takkan mampu meluluhkanmu..Ashoka terima kasih telah mengantarku pulang, menuntunku sampai rumah, tidak ada rasa apapun saat beberapa kali tangannya memegang tanganku, bahu dan pundakku, dia hanya orang baik yang singgah dalam hidupku, tak lebih. Tidurlah mei, tidurlah

Dion maafkan aku, Ashoka terima kasih

Ah mengapa kacau begini pikiranku

Jam menunjuk pada angka 24.00 mataku mulai redup.

***

Malam aku bangun, lalu aku lihat jam yang masih menunjukkan angka dua dini hari.

Aku berwudhu dan sholat tahajut, memohon ketenangan dan kelapangan jalan hidup.

Selesai tahajut aku kembali ke kasurku dan kembali mendengar notif pesan masuk lewat wa. Ah Ashoka lagi.

Bangun Bu Mei? Tadi saya lihat online di jam dua?

Iya sholat Pak

Oh, yah baguslah, maaf sudah mengganggu

Ah nggak

Silakan tidur kalau Bu Mei capek

Iya tapi kayaknya nggak akn bisa tidur lagi Pak, saya akan melanjutkan sedikit pekerjaan saja

Wah ini masih jam tiga dini hari loh Bu

Nggak papa, sudah biasa Pak

Ok deh kalau Ibu mau bekerja, lanjut saja

Iya, makasih Bapak sudah menyapa saya

Sama-sama

Eh iya sebentar Bu, boleh kalau kapan-kapan saya ajak ibu makan di luar?

Oh saya lihat jadwal saya jika tidak sibuk saya bisa

Makasih Bu Mei

Sama-sama Pak

Aku masih menatap layar ponselku dan rasanya tak percaya ia mau berbasa-basi padaku, orang secuek dia, mau cari pacar apa gimana? Jadi ge er aku ...

Dan Mei mulai membuka laptopnya, melanjutkan pekerjaan yang masih tersisa.

Pecinta Senja (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang