10 Pertanyaan (2/2)

503 31 1
                                    




"Hah?" mataku terbuka lebar, menatapnya tidak percaya.

"Tadi katanya minta dihalalin? Ayuk aku mau" ia berujar lagi, masih dengan senyum yang sama.

Coba kalian lihat foto di atas itu, ya mukanya kayak gitu. Muka-muka iseng ngejailin doang.

"Gak tau ah" aku berpaling. Aku tahu sih Mas Rian memang bercanda, tapi kan harusnya jangan bercanda tentang halal-halal dong. Karena jujur aja, walaupun sedikit, aku berharap juga :")

Mas Rian tertawa, kemudian menjulurkan tangan kanannya untuk merangkulku lembut, "Yo wis, tanya lagi sebelum Ginting balik main"

"Loh, daritadi main sama Ginting?" aku bersandar di dadanya sambil kembali berkutat dengan layar handphone.

"Iya online, tapi mau ambil makan dulu katanya"

"Oke. Aku lanjut, pertanyaan kelima, what memory of yours is the worst?"

"Pas Bapak nggak ada"

...

Aku mendongak, menatap wajah mas Rian dari bawah. Ia membalas tatapanku dengan tersenyum, senyumnya tulus, seakan tanpa beban mengingat memori terburuknya. Aku ragu untuk bertanya lebih jauh, atau membuatnya cerita tentang sosok Ayahnya. Mas Rian tidak pernah banyak bicara menyangkut ini, so i'll let it go. be strong Mas, I love you.

"Hmm.. terus what was the last thing you cried about? oh sama kapan?"

Ia mengambil napas dalam, bola matanya berputar ke arah atas menunjukkan ia sedang berpikir, "Lupa"

"Bohong. China Open?"

"China Open opo?"

"Nggak nangis?"

"Ya nggak lah, emang belum rejekinya aja"

Aku tersenyum, "Oh iya, nggak nangis sih terus nggak mandi juga kan? Makanya sekarang ada tren 'Jom mandi Jom'"

Ia terkikih, menepuk-nepuk pipiku dengan lembut, "Lanjut"

"What is the one thing you would change about yourself?"

"Hmm.. menurut kamu yang harus aku rubah apa emangnya?"

"Ih kok jadi aku? Mas Rian lah"

"Ya tapi kan yang bisa menilai aku itu orang lain" ia kembali menatap, berharap ada jawaban dariku.

"Kalau Mas Rian melihat dari sisi orang lain kira-kira gimana?"

"Kamu tuh ya selalu ada aja jawabannya" kini ia mencubit hidungku, "Apa ya? mungkin lebih tahan banting, punya mental juara yang lebih kuat untuk di lapangan"

Aku mengangguk-angguk, "Jadi yang dirubah dari Mas Rian itu karakter Mas Rian sebagai atlet aja? kalau sebagai pacar?" aku melirik, sedikit meledek dan ngetes juga sebenarnya.

Ia membalasku dengan senyum, sepertinya mengerti akan kode yang aku berikan, "Pengennya sih gak sayang sama kamu"

"IH KOK GITU!" aku hendak beranjak dari rangkulnya namun ia tahan.

"Hehe abisnya... kamu suka buat aku pusing sih"

"Pusing apa sih?"

"Pusing kalau kamu ngambek"

"Mas Rian!"

"Yayaya, apa lagi pertanyaannya?"

"Hmm... Kalau hidup Mas Rian tinggal 6 minggu lagi, Mas Rian mau apa? What would you do if you had only 6 weeks to live?"

"Hmm... naik haji berapa hari sih? 40 ya? 6 minggu berapa hari? 42 ya? yaudah 40 hari naik haji sama keluarga, 2 harinya sama kamu deh"

"Sama aku dua hari aja? Aku gak diajak naik haji juga?"

"Ya ijab kabul aja gak sampe satu jam, dua hari cukup lah" Ia kembali tersenyum menggoda

"Mas Rian ah"

"Kenapa siih?" ia mengusap2 ujung kepalaku, kemudian jarinya bermain-main dengan rambutku.

"Gak usah bercanda kayak gitu ah..."

"Emang kenapa?"

"Ya.... gapapa. Aku belum siap aja" aku menggenggam tangannya yang bermain dengan rambutku, kemudian mengaitkannya dengan jari-jariku sebentar sebelum melepasnya lagi "What constitutes a perfect day for you?"

"Hmm apa ya. Hari yang sempurna buat aku pulang dari turnamen setelah juara, seharian di rumah bisa bangun siang, makan masakan rumah, terus sore atau malemnya jalan-jalan sama kamu"

Aku tersenyum lebar, dalam hati bersyukur kalau Mas Rian masih menyempatkan aku di tengah skenario hari yang sempurna buatnya. "What are the five things that you are most thankful right now? Lima hal yang Mas Rian paling syukurin sekarang apa?"

"Apa ya? Satu, kesehatan. Dua, rejeki. Tiga, jodoh. Terus apa lagi?"

"Ih jawabnya yang bener dong kan aku tanyanya lima"

"Loh ini udah bener. Kan bersyukur sama Allah dikasih kesehatan jadi masih bisa jadi atlet, masih bisa pacaran gitu loh. Terus bersyukur karena ada rejeki yang cukup, buat aku, buat keluarga juga. Terus ketiga ya jodoh, bersyukur dapet kamu yang walaupun sukanya curigaaaan mulu sama cewek, tapi sekarang udah mendingan sih."

"Mas Rian iiiihhh" aku memukul-mukul bahunya kesal, masih sempat-sempatnya dia godain aku.

"Opo toh? Sakit ni aku kamu aniaya terus"

"Ihh aku gak aniaya" kali ini aku menekan-nekan sisi badannya dengan jariku, untung dia gelian.

"Tuh kan. Udah kayak harimau belum dikasih makan seminggu"

"Emang aku belum makan! Kok lama sih orderan makanannya?"

"OH IYO! LALI AKU TADI MAU PESEN DITELFON GINTING SURUH MAIN"

"MAS RIAAAANNNN"

Adoring You (Rian Ardianto)Where stories live. Discover now