SEINDAH ANGAN

113 1 0
                                    


Hujan. Tanah-tanah melunak, melebur. Gemuruh hebat meledak-ledak tak kenal iba. Semesta sedang merindu, tanda seseorang tengah kehilangan.

Duduk termangu di tepian batu nisan, seorang gadis berdiam diri. Tatapannya nanar, serasa hambar bila dikecap. Walau terus dibasahi pun, matanya kering seolah air hujan tak bernyali untuk bertapak.

Lavina Naraya. Kini gadis itu sendirian, meraung-raung kepada takdir akan hidupnya yang tak berkesempatan untuk bahagia.

"Nak Lavina?" Suara memecah keheningan, bergema menembus derasnya hujan pada penghujung hari. Menoleh, yang dipanggil tersenyum. Senyumannya nampak tulus, teduh menyejukkan hati setiap manusia yang memandangnya.

"Maaf karena Ibu harus menunggu lama" Tersenyum kembali, Lavina beranjak dari duduknya.

"Tak masalah, Nak, maksud Ibu jika kamu masih ma –"

"Tak apa, Bu. Ibu sudah sangat baik kepada saya, menunggu saya yang hanya diam duduk di sini hingga sekarang. Sebentar lagi malam, Bu, terimakasih sudah menunggu saya", potong Lavina. Dengan penuh kasih sayang, Lavina meraih tangan Bu Risa dan bersama-sama pergi meninggalkan pemakaman seiring hari yang kian menggelap.

Sulit untuk terus tetap berjuang, disaat yang kau perjuangkan berlari semakin jauh. Berusaha untuk dapat menerima, bahwa mimpi hanyalah sebatas 'mimpi'. Terus bersabar disaat anganmu hancur tertikam oleh bengisnya dunia. Seolah semuanya t'lah dijadwalkan 'tuk berakhir. Kau harus hidup dalam kesedihan, tanpa kau miliki satupun angan, sembari menunggu datangnya maut yang akan menjemputmu di kemudian hari.

Tetapi Lavina, Ia hanya diam. Diam disaat semua itu menghujani kehidupannya. Entah apa yang kini gadis malang itu tengah rasakan. Pergi ditinggalkan orang-orang yang sangat dikasihinya, orangtua, saudara, juga teman-temannya. Kini Ia sendirian, terhujam oleh pilunya rasa kesepian.

"Selamat siang, El"

40 Hari lamanya Haniel pergi meninggalkan Lavina untuk selamanya. Kini, di pemakaman yang sepi ini, Lavina berkesempatan untuk memberikan penghormatan terakhir bagi Haniel sebelum saudaranya itu benar-benar pergi.

Haniel, saudara kembar Lavina, seorang saudara laki-laki terbaik diantara berjuta-juta lelaki yang berkesempatan untuk memilki saudara perempuan. Haniel, tempat Lavina berteduh, dari teriknya panas, dinginnya hujan, dan derunya badai. Haniel, seorang yang sangat Lavina sayangi, juga seorang terakhir yang hanya gadis itu miliki. Sayangnya, Haniel harus pergi, dikarenakan garis takdir yang t'lah tegambar atas dirinya.

"Apa kau tahu, El? Bu Risa, pemilik kamar kos kita selama ini, kini Ia sangat baik. Ia memberikanku kamar gratis untuk kupakai jika aku tak sanggup untuk membiayainya"

Setelah kepergian sang Ibu, Lavina dan juga Haniel terpaksa harus meninggalkan rumah. Semua itu demi biaya pengobatan rumah sakit yang menuntut untuk segera dilunasi. Kebingungan, Lavina beserta Haniel berusaha untuk mencari cara agar dapat memiliki tempat tinggal. Baiknya hidup memberikan Haniel seorang teman yang memiliki sebuah relasi dengan pemilik kamar indekos yang bertempatkan tak begitu jauh dari lingkungan sekolah keduanya.

Dengan modal yang tak cukup banyak, akhirnya kedua anak kembar tersebut pun dapat tinggal di kamar indekos tersebut, dengan syarat akan diusir bila melanggar peraturan serta tak dapat membayar sewa kamar setelah satu bulan diberi kesempatan. Karenanya, Haniel dan Lavina pun terpaksa harus menyisihkan waktunya untuk freelance job dengan upah yang juga tak seberapa. Selain untuk biaya indekos, biaya makan, biaya sekolah, dan biaya tak terduga lainnya juga menanti untuk dipenuhi.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 30, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

SEINDAH ANGANWhere stories live. Discover now