Bagian 6

1.8K 344 34
                                    

BAB 6

Sasori terpaksa menyeret tubuh Sakura dari atas ranjang menuju kamar mandi agar gadis itu tak terlambat masuk sekolah. Pemandangan yang sangat biasa di setiap pagi mereka. "Ayo cepet bangun!" bentaknya.

Sakura yang merasa terusik menyipitkan matanya. Merasa sangat malas melihat kemarahan kakaknya itu. "Apa gak bosan emosi terus tiap pagi?"

"Gue bisa mandi sendiri tanpa lo nyeret-nyeret tangan gue!" Sakura berusaha berontak dari cengkraman kuat yang menerkam tubuhnya.

"Lo tahu ini udah jam berapa hah?" Sasori mengacak rambutnya frustasi. "Ayolah Ra, bisa gak sih jinak sehari aja?"

"Terus kenapa? apa masalahnya?" kata Sakura cuek sambil melilitkan handuk putih ke leher jenjangnya.

"Ayolah please, gue capek tiap senin ke sekolahan lo ketemu sama guru BP yang tua itu."

Sakura terdiam. Dia lalu berbalik tanpa melihat wajah Sasori, kakaknya.

Sebelum masuk ke kamar mandi, langkahnya terhenti. Dia menghela napas lalu memejamkan matanya sebentar.

"Gue gak nyuruh lo terus datang ke sekolah gue...lagipula gue juga bosen lihat lo di sana tiap hari Senin. Emang gak ada orang lain lagi selain lo yang harus jadi wali gue?"

Sasori terdiam. Dia melihat punggung adiknya yang kini hilang di balik pintu kamar mandi. Ia menghela napas cukup panjang. Mengerti apa maksud dari kata-kata Sakura. Selama ini memang dirinyalah yang menjaga gadis kecilnya itu.

Ia mengerti. Mungkin adiknya itu butuh suasana yang berbeda. Sakura selalu menginginkan kehadiran seseorang selain dirinya sejak ia masih anak SD.

Yah, Sakura selalu ingin kehadiran orangtuanya di tengah-tengah mereka. Sakura sudah muak dengan uang yang diberikan ayahnya tiap bulan ataupun hadiah-hadiah mahal dari ibunya. Yang ia butuhkan adalah kehadiran dan kasih sayang mereka secara langsung.

****

Sakura mati-matian berusaha menahan rasa kantuknya. Kalau saja tak sedang berhadapan dengan wali kelasnya, mungkin ia sudah menguap berkali-kali tanpa hambatan. Tenten yang ada di sebelahnya malah sudah tertidur pulas dalam diam.

"Apa ibu harus manggil wali kalian lagi untuk datang ke sekolah?" kata Mikoto sambil melihat catatan merah Sakura dan Tenten dari ruang BP. Guru BP seakan menyerah meladeni tingkah kedua gadis itu.

"Terserah ibu aja. Abang saya pasti dengan senang hati datang."

"Sakura!" Mikoto menghela napasnya. Sudah berulangkali Sakura begini. Dia jadi bingung harus melakukan apa agar ia mau berubah.

"Sekarang bilang sama ibu, kenapa kalian telat lagi? Tenten dengerin ibu!"

Seketika Tenten terbangun dari tidurnya. Sedangkan Sakura menunduk. Tak mungkin jika mereka mengaku tentang apa yang dilakukannya semalam. Party dan mabuk-mabukkan. Bisa-bisa mereka langsung dikeluarkan dari sekolah itu.

"Kenapa diem? ayo jawab," kata Mikoto.

"Saya begadang nonton drama Korea."

"Saya nemenin Papa nonton bola."

Mikoto menggelengkan kepalanya. Jawaban macam apa itu?

"Gak usah banyak alasan .Ibu tahu kalian bohong. Udah sekarang ibu putuskan kalian harus menerima hukuman."

Sakura dan Tenten menghela napasnya. Mereka menebak-nebak hukuman apa yang akan mereka terima kali ini. Sudah berbagai macam hukuman telah mereka lakukan. Dari mulai membersihkan kamar mandi, lari keliling lapangan, nyapu pekarangan sekolah, sampai diskors. Itu semua belum berhasil membuat mereka kapok. Bahkan Tenten dengan entengnya pernah mengajak Sakura liburan di depan guru BP sewaktu mendapat skors bulan lalu.

The Real loveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang