BAB 2 - Hug

75.9K 3.5K 57
                                    

Lanna sudah siap tiga puluh menit yang lalu. Dia sangat antusias untuk bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang keuangan. Sebuah perusahaan yang membiayai perusahaan lain untuk memperjualbelikan mobil dengan modal triliyunan rupiah. Itu salah satu perusahaan valid dan top di Jakarta. Lanna mengenakan rok selutut dan kemeja putih berlengan panjang. Dia menggerai rambut hitamnya yang panjang sepunggung. Foundation murah yang biasa dipakai wanita jaman dulu dipakainya sebagai alas bedak. Ditambah bedak tabur berbentuk bulat dengan wajah wanita berambut sebahu. Lipstik lokal warna mauve on milik Kirana menjadi pelengkap make-upnya hari ini.

Kiranna seperti biasa mengenakan rok span selutut dan kemeja motif polkadot. Totte bag bergambar wajah dirinya. Kacamata berframe persegi. "Pakai ini," dia menyodorkan sebuah pensil alis dan maskara.

"Males ah, gini juga udah cantik."

"Pakai atau aku tinggal." Ancam Kirana seraya melipat tangan di atas perut.

Sembari bergumam-gumam akhirnya Lanna menyapukan pensil alis di alisnya yang berantakan layaknya sebuah hutan rimba. Maskara diolesi tipis-tipis.

"Mau bawa buku?" tanya Kirana dengan dahi mengernyit setelah melihat buku di atas tas cokelat tua buatan lokal milik Lanna.

"Ya."

"Totto-Chan?" Kirana mengambil buku Totto Chan. "Gadis Cilik Di Jendela. Kenapa harus dibawa sih, kan, kamu mau interview kerja. Nggak bakal sempet baca buku."

"Oh, aku udah baca bukunya berkali-kali kok. Aku lebih semangat aja kalau bawa buku Totto Chan." Ujar Lanna acuh tak acuh.

Kirana memutar bola mata heran. "Terserah kamu aja, deh." Dia tampak lelah menghadapi Lanna seakan Lanna adalah anjing nakal yang hiperaktif.

***

Lanna duduk dengan posisi berusaha rileks dan tidak gugup sama sekali. Dia sekarang sedang berhadap-hadapan dengan wanita usia sekitar 34 tahun dengan tubuh sedikit melebar. Tatapan mata ramah dan rambut ikal tergerai. Kirana bilang dia adalah HRD di perusahaan ini.

"Nama kamu Lanna Davina?" tanya wanita 34 tahun itu.

"Iya, Bu." Jawab Lanna tersenyum sembari mengangguk. Dalam hati dia selalu bergumam agar nadanya tidak seperti nada penyanyi opera.

"Cantik namanya, seperti orangnya." Puji wanita itu entah jujur atau matanya minus akut.

Lanna hanya tersenyum. Dia bingung ketika seseorang memujinya harus bagaimana dan bersikap apa.

"Terima kasih." Setelah beberapa detik terdiam akhirnya hanya ucapan 'terima kasih' yang diingatnya sebagai balasan dari pujian HRD ini.

"Perkenalkan diri kamu."

Seketika Lanna antusias. "Nama saya Lanna Davina. Saya lahir dan sekolah di Bandung. Usia saya 23 tahun."

"Kamu bisa word dan exel kan?"

"Bisa."

"Emm, hobi kamu apa?"

"Membaca buku, mendengarkan musik dan menonton film horor."

"Kamu suka baca buku?"

"Iya," Lanna mengangguk.

"Buku apa?"

"Saya suka baca semua jenis buku. Tapi yang paling saya suka novel dan buku-buku pengembangan diri."

"Kamu siap kalau besok kamu mulai bekerja di sini?"

Lanna melongo sejenak. Dia takjub, terpesona dan terkesima sekaligus terharu. Bagaimana dia bisa seberuntung ini. Orang-orang di luar sana bersusah payah mencari pekerjaan tapi dia... interview langsung dengan HRD perusahaan kelas atas dan langsung ditanya 'kamu siap kalau besok kamu mulai bekerja di sini?'

"Si-siap." Jawab Lanna antara gugup dan senang.

"Semoga betah ya." Wanita 34 tahun itu tersenyum ganjil. Persis seperti senyum ganjil Kirana kemarin. Lanna menaruh curiga. Sebenarnya ada apa?

"Oh ya, untuk posisi saya—"

"Sekretaris. Kami butuh sekretaris."

"Oh. Terima kasih." Lanna tersenyum.

"Sama-sama. Yang betah ya."

Dahi Lanna berkerut. Sekali lagi dahinya berkerut.

"Oh ya, Lann, besok kamu akan interview langsung dengan direktur utama perusahaan kita. Sebenarnya kalau saya bilang ACC Pak Dirut pasti akan ACC juga. Interview sekaligus kerja."

Lanna mengangguk senang. "Iya, Bu."

***

Perusahaan yang bergerak di bidang keuangan ini berada di lantai enam belas. Lanna awalnya takjub dan menyangka kalau bangunan yang tinggi menjulang ini milik satu perusahaan, namun ternyata bangunan tinggi yang ada di Jakarta bukanlah milik satu perusahaan tetapi banyak perusahaan namun berada di gedung yang sama.

Kirana menyuruh Lanna pulang duluan karena dia bekerja. Kirana memberikan kartu busway-nya dan memberitahu Lanna untuk naik dan turun di halte yang dekat dengan apartemennya. Lanna berdiri bersama seorang pria berwajah tampan di dalam lift. Dia berkulit putih dengan hidung mancung sempurna. Matanya sipit dengan bola mata warna cokelat cerah. Lanna meyakini kalau pria di sebelahnya adalah pria campuran antara Eropa, Tiongkok dan Indonesia. Perpaduan yang unik dan menarik.

Lift terbuka dan mereka masuk secara bersamaan. Pria tampan ini memencet angka satu. Dia melirik sekilas ke arah Lanna yang tertangkap basah sedang menatapnya. Refleks, Lanna langsung membuang muka.

Pria ini kemudian fokus menatap ponselnya. Berpura-pura tidak tahu, tidak menatap dan tidak peduli. Lampu lift tiba-tiba berkedip-kedip. Lanna yang nyaris baru beberapa kali naik lift panik dengan wajah cemas dia menatap pria di sampingnya. Mendekat dan semakin dekat dengan pria yang agaknya enggan berdekatan dengan Lanna.

"Lift-nya kenapa ya?" tanya Lanna pada pria tampan dengan wajah cemas.

Sebelum pria tampan ini menjawab, lampu mati dan Lanna memeluk lengan pria ini. Lanna phobia dengan kegelapan. Dia memejamkan mata dan memeluk erat lengan berotot berbalut jas abu-abu dari pria asing di sebelahnya ini.

"Aku takut gelap, tolong ma'afin." Ujar Lanna yang pasrah pada keadaan.

Lampu menyala dan mereka sampai di lantai satu. Pintu lift terbuka dan beberapa orang mengantre menatap heran sekaligus sinis kepada mereka.

"Pintunya udah kebuka."

"Hah," Lanna membuka mata perlahan dan seketika dia melepas genggaman tangannya pada pria asing nan tampan ini. Menyadari tatapan-tatapan dari beberapa pasang mata yang seolah tidak terima dengan adegan norak ini.

"Ma'af," Ujar Lanna pada pria yang berjalan mendahuluinya. Tanpa menoleh sedikit pun si pria meninggalkan Lanna.

"Dia nggak terima dengan apa yang aku lakukan. Ah, Lanna, kamu norak." Gumam Lanna menyesali kenapa dia berani memeluk lengan pria asing itu.

***

Saat duduk di busway Lanna mengambil jedai dalam tasnya dan mengikat asal rambutnya. Dia masih memikirkan kejadian di lift. Dan masih merasa malu. Andai saja bumi bisa menelannya sekarang atau ada keajaiban untuk menghilang dari bumi sebentar ke negeri dongeng atau apalah agar dia bisa mengurangi rasa malunya.

"Apa yang dipikirkan pria itu ya?" Gumamnya. "Jangan-jangan dia mikir kalau aku mau dekat-dekat sama dia dan sengaja berpura-pura takut." Lanna menghela napas perlahan. "Pikirkan sesuatu yang positif, Lanna. Jangan berpikir negatif. Aku harap nggaka akn ketemu orang itu lagi. Jangan ya Tuhan, jangan pertemukan aku lagi dengannya."

***

Tinggalkan vote dan komentarnya ya, oh ya untuk trailer MBC ada di IGstory @finisah thank you ❤

Married By Contract [Completed√]Where stories live. Discover now