Prologue

4.2K 281 14
                                    

Sore itu mendung menghiasi langit kota Bangkok. Yang terlihat hanya warna abu di sepanjang horizon, warna lain seakan enggan untuk menampakkan diri. Orang-orang berlalu lalang dengan langkah tergesa, karena tahu hujan akan segera turun. Tak terkecuali bagi Perth, pemuda tampan yang langkah kakinya berderap cepat, tak peduli siapa yang ia terjang di depannya. Tak sedikit orang memberikan tatapan tajam karena Perth tidak sengaja bersenggolan dengan mereka. Bukan tidak sengaja sebenarnya, tapi sejujurnya ia tidak ingin peduli.

Tak ada yang menyadari jika binar mata pemuda itu berbanding terbalik dengan awan kelabu yang mengantung di langit sana. Dengan senyuman yang terus mengembang di wajah tampannya, sesekali ia menyisir rambutnya dengan jari jemarinya, meskipun justru itu membuat rambut hitam lebatnya menjadi sedikit berantakan. Ah, tapi sekali lagi ia tidak peduli. Terlalu banyak hal yang tidak ia pedulikan beberapa waktu belakangan ini. Ia mulai lupa dengan jadwal kuliahnya, ia mulai mengabaikan jadwal latihan sepak bolanya, bahkan ia mulai tidak peduli dengan nomor kontak lain di handphone-nya, selain nomor kontak orang itu. Semua pesan maupun panggilan masuk yang ia nantikan hanya dari satu kontak. Milik orang itu.

Langkahnya terhenti saat ia melihat sosok yang menjadi satu-satunya penyebab semua ketidakpeduliannya pada hal lain selama ini. Perth memicingkan mata, seakan memastikan bahwa benar dialah orangnya. Meskipun itu terasa percuma, karena tanpa mendekat pun, ia sudah tahu diluar kepala sosok pemuda yang tengah menunggunya dengan sabar itu.

Namun lagi, langkahnya terhenti. Kali ini bukan karena Perth ingin memastikannya, tapi karena terpaku saat dirinya kembali menemukan satu hal yang sangat ia benci dari sosoknya yang tengah menyandarkan tubuhnya di dinding toko. Demi apapun, Perth benci ketika melihat tatapan kosong yang terpatri dari kedua bola mata indah pemuda itu. Perth kesal ketika tak ada senyuman yang terlukis di bibir ranumnya, pun ia tidak suka ketika wajah orang itu tertunduk lesu seolah dunia sedang mentertawakannya. Dan Perth lebih membenci dirinya sendiri, karena ia tidak bisa berbuat apapun bahkan untuk sekedar menarik bayangan orang itu dari awan kelabu yang seakan mengiringi hidupnya. Perth termanggu seraya menatap dalam bisu sosok yang menempati tempat istimewa di hatinya itu.

"Perth?"

Tiba-tiba suara lembut menyapa telinga membuat Perth menghela nafas dalam, berusaha menyunggingkan senyuman kecil di sudut bibir, membalas senyuman kaku si pemuda itu. Perth mematung, tak habis pikir bagaimana mungkin hanya dalam hitungan detik, pemuda di depannya itu mampu mengubah aura dalam dirinya yang semula suram menjadi nampak berbinar. Dan percayalah, itu justru semakin membuat Perth tak nyaman. Perth semakin membenci dirinya sendiri karena ia kembali harus melihat kebahagiaan palsu dari wajah tampan orang itu.

Sampai kapan kau akan terus termenung seperti itu?
Sampai kapan aku harus melihat kesedihan dalam senyuman indahmu?
Sampai kapan aku harus berpura-pura tidak tahu?

Sebenarnya bukan ketidakmampuan dalam diri Perth untuk melakukannya, tapi ketidakmauan orang itu untuk membuka helai demi helai lembaran catatan kelam dalam hidupnya, alih-alih berbagi dengan Perth yang sejatinya selalu ada disisinya.

"Perth, kenapa lama sekali? Aku menunggumu sejak tadi"

"Ah, maaf aku terlambat.."

Perth tersenyum lebar memamerkan barisan giginya yang rapi.

Ia sudah terbiasa, sama seperti orang itu, keahliannya kini dapat dengan mudah mengubah ekspresi wajah dalam hitungan detik, meskipun perasaannya terasa tercubit. Bibir tipisnya memang menyunggingkan senyuman namun sekilas bergetar karena menahan luapan emosi yang mengganjal dalam hatinya. Perth kini mulai merasakan kelamnya mendung yang sedari tadi ia hiraukan, seakan menggambarkan kegelisahan yang tak mampu tersampaikan.

"Selalu seperti itu. Jika dalam 1 menit kau tidak menampakkan batang hidungmu, aku sudah akan pergi dari tempat ini, tak peduli jika harus meninggalkanmu sendirian"

Hei, benarkah kau akan meninggalkanku?

"Ayolah, bukankah aku sudah meminta maaf?"

"Baiklah, karena aku sedang dalam suasana hati yang baik, maka aku akan tetap menemanimu hari ini.."

Perth tertawa kecil, lebih tepatnya memaksakan diri untuk tertawa senatural mungkin.

Ingin rasanya aku meninju wajahku sendiri! Berhenti tertawa seperti orang bodoh, Perth!

"Aku berjanji, lain kali aku tidak akan melakukannya lagi.."

"Tsk.."

Perth terkekeh mendengar decakan kasar yang keluar dari bibir pemuda di depannya, sebelum kemudian lengan kemejanya tertarik, sebuah isyarat yang mengharuskannya mengikuti langkah si pemuda tampan itu. Perth hanya mengangguk dengan tatapan sendu sambil menatap tangan yang semula menarik lengan kemejanya, yang kini terlepas begitu saja.

Hatinya berbisik dengan pilu, "Tetaplah dalam suasana hati yang baik, karena dengan begitu, kau akan selalu menemaniku, Saint.."







Hai guys.. Downpour lagi aku edit karena ternyata ada banyak keanehan di chapter awal, maklum Downpour is my first baby hehe so aku minta maaf kalo bakalan spam di notif kalian soalnya Downpour bakalan aku publish ulang.

Thanks for reading!
Bye!

DownpourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang