12 - Bad Day Good Day

981 137 15
                                    

Saint

Aku menatap bayanganku di cermin, rambutku sudah tersisir rapi, kemeja putih yang aku kenakan sudah terlihat pas di tubuhku. Di luar sana cuaca cerah berangin, langit terhampar luas berwarna biru. Benar-benar hari yang cocok untuk berkencan. Aku kembali melihat jam di dinding, masih ada setengah jam tersisa sebelum waktu yang aku janjikan.

Sejujurnya aku sendiri tak yakin dengan ajakanku kemarin. Mengajak Perth berkencan? Apa yang ada dalam pikiranku? Aku mendesah pelan. Saat itu pikiranku kalut, salahkan saja orang yang bernama Mark itu. Perkataannya terngiang di telingaku, membuat aku takut kehilangan Perth. Namun, dengan aku mengajaknya berkencan, bukankah justru makin memberinya harapan yang tak pasti? Seperti perasaanku padanya, aku belum bisa memastikan apa maunya hatiku. Aku tak bisa menjanjikan apapun padanya. Aku hanya ingin menikmati waktu dengannya selagi aku bisa. Aku pikir, mungkin dengan mengajaknya pergi berkencan, aku bisa memastikan bagaimana perasaanku sebenarnya.

Aku tersentak dari pikiranku saat bunyi bel terdengar nyaring ke seisi ruangan. Aku bergegas beranjak untuk membuka pintu.

"Kau?", aku terkejut saat mendapati Ibuku bersama Patrick, sekretarisnya, kini berdiri di depan pintu apartemenku.

"Selamat pagi, Tuan muda..", Patrick, pria berusia 30-an itu membungkuk menyapaku.

Aku memundurkan tubuhku saat Ibuku berjalan masuk tanpa mengatakan sepatah katapun. Bibirnya yang terpoles lipstik merah, sama sekali tidak menyunggingkan senyuman sedikitpun. Tatapannya datar. Benar-benar tipikal ibuku sekali.

Patrick menatapku sungkan, seakan meminta izin untuk masuk ke dalam apartemen. Aku yang menyadarinya, mempersilahkan dirinya masuk. Otakku mulai menebak ada keperluan apa Ibuku datang menemuiku bersama orang kepercayaannya itu. Apakah soal kampusku yang baru?

"Duduklah, Saint..", wanita itu menyilangkan kakinya dengan elegan di sofa besar itu.

Aku dan Patrick duduk saling bersebrangan. Aku berharap pembicaraan ini tak akan lama, karena aku sudah harus pergi menemui Perth. Aku tidak ingin membuatnya menunggu. Aku memperhatikan ibuku yang kini mengisyaratkan Patrick untuk memulai pembicaraan ini.

"Tuan muda, saya membawa berkas yang harus anda bawa saat.."

"Bukankah kau sudah mengirimnya melalui e-mail?", aku menyela ucapannya.

"Ada beberapa persyaratan yang harus dibawa saat Tuan Muda..",

"Taruh saja di meja. Aku sedang terburu-buru, aku harus segera pergi..", ujarku sambil berdiri bersiap pergi dari sana.

"Kemana sopan santunmu, Saint?", Ibuku berbicara dengan nada dingin. Air mukanya kaku menahan amarah.

Aku kembali terduduk. Aku tidak ingin bertengkar dengannya. Aku tidak mau merusak mood-ku untuk hari ini.

"Aku mengatakan jika kelasmu di mulai bulan depan, namun sepertinya harus di percepat.."

"Apa?", aku terkejut saat mendengarnya.

Aku menatap Patrick dan Ibuku bergantian, meminta jawaban kenapa harus di percepat. Bukankah sudah disepakati kapan aku harus memulai kuliahku.

"Patrick sudah mengurus semuanya, termasuk asrama yang akan kau tempati.."

"Aku tinggal di asrama?", aku semakin tidak mengerti apa maksud ibuku.

"Kau tidak ingin tinggal di asrama?", Ibuku menaikkan alisnya menatapku, lalu ia melanjutkan,

"Patrick, kau carikan apartemen terdekat dari kampusnya. Aku ingin yang seperti apartemen ini.."

Patrick, pria dengan setelah jas hitam, mengangguk mengiyakan permintaan ibuku. Ia seperti boneka yang begitu patuh padanya. Sudah lebih dari 5 tahun ia mengabdi pada ibuku. Maka dari itu ia menjadi tangan kanannya.

DownpourWhere stories live. Discover now