1. Mekarnya Sekuntum Bunga

40 5 0
                                    


Krek.

Pintu ruang rekaman pun tertutup perlahan, diiringi bunyi nyaring dari gesekan engsel pintu. Dengan kertas-kertas di tangan, Kaito keluar dari ruangan sembari menghela nafas berat. Tungkai kakinya perlahan membawanya ke sebuah sofa yang bagai sudah menunggu kehadiran pria itu. Setelah mendudukkan tubuh pada sofa, dilihatnya kembali kertas-kertas musik yang telah selesai ia gunakan. Rekaman lagu baru untuk hari ini berjalan lancar, dan Kaito sendiri merasakan kepuasan saat mendengar kembali suara nyanyiannya sendiri. Ada beberapa improvisasi yang begitu membanggakan dari dirinya setelah latihan yang cukup lama.

Manik mata sewarna samudranya melirik sekitar, dan baru ia sadari bahwa tak ada orang lain selain dirinya yang bersantai di ruangan tersebut. Kalau diingat-ingat, anggota yang lainnya juga sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Master hari ini juga bekerja penuh semangat demi kelancaran semuanya. Mengingat hanya dia saja yang baru saja selesai rasanya sedikit sepi. Tapi tidak ada yang bisa ia perbuat, selain menghabiskan waktu sendirian sembari menunggu yang lainnya selesai.

Apa boleh buat... Sekali lagi Kaito menghela nafas, lalu beranjak dar sofa. Dari pada luntang-lantung di ruangan itu sendirian tanpa kerjaan, lebih baik ia melakukan sesuatu sebelum akhirnya beristirahat.

Tak jauh dari tempatnya beristirahat tadi, tepat di ruang sebelahnya, terdapat sebuah grand piano tua yang masih berfungsi. Bukan sebagai pajangan, tapi hanya jarang digunakan karena di ruangan yang sama terdapat keyboard. Kaito menutup rapat pintu ruang tersebut lalu melangkah mendekati grand piano yang bercat hitam mengilat. Jemari Kaito menyentuh tuts-tuts piano sembari memperhatikannya lekat-lekat. Sekilas kerinduan terasa dalam diri pria itu, yang membuatnya mengembang senyum tanpa ia sadari. Kertas-kertas musik itu diletakkannya di atas meja, dan otot-otot tangan direnggangkannya. Perlahan, lantunan musik yang begitu indah terdengar dari permainan pianonya. Ritme yang tak terlalu cepat, serta melodi yang nyaman didengar di telinga, bergema di ruangan tersebut. Kaito sendiri menikmati permainan pianonya yang sudah cukup lama tak ia lakukan.

Dari satu lagu berlanjut ke lagu berikutnya. Semakin lama Kaito terlena dalam alunan musik-musik lama yang dulu pernah ia nyanyikan. Lagu yang membawa banyak kenangan, dan bukti bahwa dirinya ada. Eksistensi yang hampir terlupakan di benak masyarakat, meski sudah bertahun-tahun lamanya ia "hidup". Perjuangan yang cukup keras harus ia tempuh demi terus berdiri di atas panggung. Sampai ia melupakan, apa artinya kesenangan.

Setetes air mata yang mengalir lembut ke pipinya menjadi tanda bahwa ia kembali merasakan kebahagiaan dalam bermusik yang hampir hilang.

Tidak, selama ini ia sangat menikmati bernyanyi semua lagu yang ditujukan untuknya. Seluruh anggota tubuhnya juga selalu bergerak mengikuti ritme musik. Semangat penuh selalu ia berikan pada setiap sorotan kamera yang tertuju padanya. Dan perasaan yang menggebu-gebu di saat sorakan meriah diberikan hanya untuknya. Namun... apa yang salah?

Krek.

Saat itu juga ketika ia hendak berteriak keras, terdengar suara pintu terbuka perlahan. Kaito terkejut dan dirinya hampir terjungkal karena sejak tadi ia terlalu menikmati kesendiriannya. Spontan jemarinya berhenti mengetuk tuts, dan konsentrasi pada permainannya pun langsung buyar. Suara hentakan kaki terdengar di ambang pintu, diikuti kepala seseorang yang mencuat keluar dari sela-sela pintu yang terbuka. Bando coklat dan helaian rambut berwarna pink menjadi hal pertama yang membuat Kaito bernafas lega.

"Master, kaukah itu?" Luka bertanya dengan nada pelan, niat hati tidak ingin mengejutkan seseorang yang ada di dalam ruangan. Apa daya niatnya sia-sia.

"L-Luka-san?" Kedua mata Kaito mengerjap, dan ucapannya terbata-bata saat ia mencoba menenangkan dirinya. Luka hanya memandangi pria itu bingung dengan sorot mata dingin.

Dear, CamelliaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang