2. Satu Hari Yang Berat

33 4 4
                                    


"Yak, bagus sekali, Luka-chan!"

Seorang wanita berjas coklat mengangkat tangannya tinggi-tinggi, merapatkan ujung jari telunjuk dengan jempol, memberi tanda 'OK' pada Luka. Gadis berambut pink sepinggang itu kemudian berjalan mendekat, ke tempat Masternya tengah terduduk memperhatikan anak didiknya. Begitu ia berhenti, Luka pun menundukkan badannya sopan.

"Terima kasih, Master."

"Ya, terima kasih atas kerja kerasmu. Nyanyianmu semakin bagus saja, Luka-chan."

"Benarkah? Itu juga karena usaha keras Master dalam melatihku setiap hari."

Wanita itu tergelak mendengar ucapan Luka, sementara yang bersangkutan hanya menatap bingung mencari letak lucunya. "Jangan merendah begitu, Luka-chan. Itu karena dirimulah yang terus berkembang semakin bagus. Dan aku sudah pernah bilang, kan? Panggil aku 'Acchan' daripada Master."

"Aku mengerti, Acchan. Tapi sungguh, apa... aku sudah berkembang sejauh itu?" Tatapan mata Luka jatuh ke lantai yang dingin, ucapannya bagai ia sedang bertanya pada dirinya sendiri.

"Ya, kau sudah sangat bagus sekarang." Acchan mengusap-usap kepala Luka pelan. "Dan aku yakin kau akan semakin bagus ke depannya."

Seulas senyum hangat terukir di wajah Luka, merasa puas saat mendengar pujian itu langsung dari bibir Acchan. "Aku akan terus berjuang."

Luka bernafas lega, pekerjaan hari ini berakhir sempurna. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan berkat latihannya setiap hari. Pujian demi pujian dari staff lainnya tak henti-hentinya menghujani sang diva. Dan sejujurnya, hal itu membuatnya sedikit kelelahan. Tapi di waktu bersamaan, memberi semangat dan kebanggan sendiri.

Di dalam studio, Luka mengistirahatkan diri sembari menunggu Acchan yang sempat permisi untuk menelpon di tempat lain. Keheningan sempat mengisi, dan tatapan mata bertemu dengan sebuah ruangan tertutup yang tak asing baginya. Tempat ketika ia mendengar lantunan piano dengan nada-nada lagu yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Perasaan bersalah saat membuat Kaito terkejut saat itu masih menghantui Luka. Namun di sisi lain, suatu hal kecil yang sempat disadarinya setelah itu masih terngiang di kepala. Sesuatu yang bukan urusannya, tapi sempat mengganggu.

Pintu studio tiba-tiba terbuka. Sontak Luka berdiri, hendak menyambut sang Master. Namun kata-katanya langsung ia telan kembali saat melihat siapa yang masuk.

"Oh, Luka-dono?"

Suara berat dari seorang pria berambut ungu panjang yang diikat kuda lah yang pertama kali didengar Luka setelah cukup lama menunggu. Tatapan dingin langsung diberikan Luka pada Kamui Gakupo, rekan bernyanyinya yang dianggap Rival oleh sang diva.

"Ah, Gakupo-san."

"Kau sudah selesai, ya? Terima kasih atas kerja kerasnya."

"Iya."

Gakupo berusaha untuk bersikap manis di hadapan Luka yang sinis. Menghindari pertikaian sebelum mulai bekerja itu perlu agar pekerjaan bisa dilakukan dengan damai dan berakhir lancar. Lelaki yang memiliki penampilan seorang samurai itu sudah terbiasa dihadapi berbagai kejadian menegangkan. Bahkan aura kegelapan mengajak berantem dari Luka juga mulai menjadi makanannya sehari-hari. Tapi tetap, mau bagaimanapun ia bersikap di hadapan gadis itu, Luka tetap akan memberi sikap tidak terima. Satu studio juga tahu kalau mereka seperti anjing penurut dan kucing galak.

Sesungguhnya Gakupo tak mengerti, kenapa Luka sebegitu tidak sukanya pada pria itu. Sejak pertama kali bertemu, Luka bersikap biasa saja. Antara cuek atau tidak tertarik. Tapi sekarang, sikapnya berubah. Ketidaksukaan Luka disadari Gakupo sejak beberapa hari setelah ranking mingguan menayangkan Gakupo mendapat peringkat lebih tinggi darinya selama beberapa minggu. Gakupo tak bisa berbuat apa-apa selain diam.

Has llegado al final de las partes publicadas.

⏰ Última actualización: Nov 14, 2018 ⏰

¡Añade esta historia a tu biblioteca para recibir notificaciones sobre nuevas partes!

Dear, CamelliaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora