1: "Kenapa kau selalu berbisik?"

7.9K 1K 87
                                    

a/n: bukan cerpen cinta-cintaan remaja.


***


Kepada Bima Sadewa, laki-laki pemberani yang pernah kutemui...

Apa kabar Ayah di pulau? Masihkah beliau pergi malam-malam mencari ikan? Masihkah beliau tidur di atas karpet? Tolong kaujaga Ayah dengan baik. Sesekali bertanyalah tentang keadaannya. Beliau adalah laki-laki terhebat yang pernah kutemui. Jangan sekali-kali kamu membencinya. Ketahuilah, cinta dan kasih sayangnya tersembunyi di balik perkataannya yang tegas. Saat kau dewasa nanti, ketika kau paham betapa beratnya hidup di dunia, kau akan mengerti bagaimana besarnya pengorbanannya untuk kita.

Lalu, Ibu, bagaimana kabarnya? Sadewa, sampaikan pada Ibu bahwa beliau tidak perlu mendatangi rumah satu per satu untuk mengambil pakaian kotor. Ibu seharusnya di rumah saja menjagamu, tidak perlu sampai menguras banyak tenaga. Lagipula, bukankah Ibu sering pusing? Aku selalu ingin menangis ketika melihat peluh membasahi wajahnya. Beliau begitu mencintai kita sampai-sampai rela mencuci pakaian orang demi membuat perut kita tidak kelaparan di malam hari.

Kamu juga, Sadewa. Apa kabarmu? Sedang apa kamu di pulau kecil kita? Ingat, sebelum pergi main dengan teman-temanmu, izin dulu pada Ibu atau Ayah. Jangan membuat mereka khawatir. Kamu adalah anak laki-laki yang pintar. Maka janganlah sekali-kali kamu berhenti mendoakan kedua orangtuamu, saudaramu, teman-temanmu, dan juga negeri ini. Jadilah ksatria yang pemberani, seperti yang terdapat pada cerpen di koran mingguan.

Mereka sangat kuat dan gagah di balik kecerdasannya membela hak-hak yang benar. Berjanjilah padaku bahwa suatu hari nanti, kamu juga akan menjadi seperti mereka.

Meski banyak orang yang diam-diam ingin membuatmu diam selamanya.

***

"Kenapa saat berbicara kamu selalu berbisik?"

Pulau yang tidak terlalu besar ini memiliki tebing-tebing besar di sekitar pantainya. Sementara itu, di atas bebatuan karang, angin sore menyapa kami dengan mengusap-usap rambut tipis kami.

"Kenapa aku harus menjawab pertanyaanmu?"

Aku cukup terhenyak. Tidak percaya bahwa anak laki-laki ini mengeluarkan kalimat sinis.

"Ya ...," aku mencoba memikirkan jawaban terbaik, "aku ingin tahu saja."

Sesaat, dia menatapku. Intens. Dari kepala sampai kaki. Ini sungguh risih. "Kamu ingin aku menjawab pertanyaanmu, 'kan? Kalau begitu jawab pertanyaanku dulu."

Aku mengerutkan dahi. Sepertinya, berbicara dengan anak ini bukan pilihan baik untuk mengusir kebosananku. "Ya sudah. Apa?"

"Siapa Ayahmu? Siapa Ibumu? Apa pekerjaan mereka? Dan, siapa Pamanmu, Bibimu, Kakekmu, Nenekmu, dan kerabat-kerabatmu yang lainnya? Apa pekerjaan mereka?" tanyanya dengan satu tarikan napas.

Tanpa sadar, rahangku jatuh. "Hey, yang benar saja. Aku mengajakmu bicara untuk berteman. Kenapa sekarang kamu menginterogasiku seakan aku penjahat?"

Dengan matanya yang sayu, ia melirikku. Sinis. Aku menelan ludah. "Penjahat atau bukan, bukannya memang semua orang perlu diinterogasi demi kesejahteraan negara?" balasnya, dengan menekan setiap sukukata pada kata terakhir.

Angin kembali mengelus rambut kami. Sementara itu, lawan bicaraku mulai mengambil langkah menjauhiku. "Hey, hey, tunggu," panggilku sembari menyamakan langkahnya yang cukup besar, "Baiklah. Ayahku seorang nelayan. Ibuku menjual pakaian bekas di pasar—ehm, sebelumnya Ibuku hanya di rumah, tapi semenjak kami kekurangan uang, Ibu mulai berdagang.

"Aku tidak punya paman maupun bibi—tidak juga sih, lebih tepatnya, punya, tetapi mereka semua mengadu nasib di kota. Entah bekerja pada siapa. Jadilah, aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Kakek dan Nenekku ada di rumah. Tetapi mereka hanya diam atau kadang-kadang ikut memasak—membantu Ibu."

Tidak ada jawaban dari lawan bicaraku. Maka, aku melanjutkan, "Kami bukan orang kaya, tapi Ayah dan Ibuku masih bisa mencukupi lima manusia di rumah untuk diberi makan. Sebenarnya, ini kali pertama aku ke desa ini, karena Ayah mengajakku untuk bersilaturahmi dengan keluarga temannya yang juga nelayan. Ehm, maksudku, keluargamu."

Dia mengangguk sekilas. Wajahnya melunak, meski sedikit. "Terima kasih karena mau terbuka denganku. Aku tidak biasa bercakap-cakap dengan orang asing yang belum kuketahui latar belakangnya," jawabnya dengan nada berbisik.

"Ya. Aku sudah menjawab pertanyaanmu, 'kan? Kini giliranmu menjawab pertanyaanku."

Dia duduk di bawah pohon kelapa, begitu pun aku. Di ujung mata, aku memperhatikannya lekat-lekat. Kulitnya yang sawo matang terlihat semakin gelap. Matanya yang sayu masih melihat laut yang perlahan-lahan menenggelamkan matahari. Seolah ada kesedihan lama yang terpendam di bawah laut sana.

Ada jeda yang panjang sebelum ia membuka bibirnya. Maka, aku menepuk bahunya—menagih jawaban. Tetapi di saat yang sama ketika ia menoleh padaku, aku malah menemukan air mata.

"Aku selalu berbisik, karena mereka benci pada orang yang berteriak-teriak."

(B)ilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang