3: Di Depan Langit dan Laut yang Bungkam

3K 819 73
                                    


Kepada Sadewa, teman laki-laki terkuat yang pernah kukenal...

Dunia ini sebetulnya tidak merahasiakan apa pun darimu, dariku, dari kita, atau dari siapapun. Dunia ini hanya ingin mengajak kita bermain teka-teki—yang satu hari nanti dapat dipecahkan. Mungkin tidak kemarin dan tidak hari ini. Tetapi yakinlah bahwa hari itu akan tiba.

Ibuku berkata, bahwa laki-laki kuat tidak pernah menangis. Sekalipun laki-laki menangis, ia bukannya lemah, melainkan belum sanggup diberi beban sebegitu besarnya. Aku yakin ini juga terjadi padamu. Kehilangan orang yang kita sayangi tidak pernah bisa membuat kita selalu tampak baik-baik saja.

Sadewa, kamu salah. Kita tidak seharusnya menjadi orang yang diam saja di balik perkataan kita yang terdengar berbisik-bisik, walaupun orang jahat ataupun baik sekalipun, akan tetap hilang setelah bilang. Bayangkan saja, jika kita selalu menjadi orang yang diam, bukankah kita sama saja seperti langit dan laut yang kaubenci? Apa bedanya kita dengan mereka yang bersekongkol membuatmu bersedih? Bukankah dengan kita diam, mereka yang duduk di kursi tertinggi secara tidak langsung menjahit mulut kita? Apa kamu mau seperti itu?

Negeri ini membutuhkan suara kita, Sadewa, meski taruhannya adalah nyawa. Ketahuilah, mereka membungkam setiap orang karena mereka takut pada jiwa ksatria yang tumbuh pada diri orang baik yang berkata benar. Sebagaimana yang tertanam di jiwa kakakmu.

Maka tetaplah menjadi orang baik yang selalu meneriakan kebenaran.

Percayalah padaku. Aku berani bersumpah.


Maret 1998, di depan langit dan laut yang bungkam,


Nirmala Setyadini


TAMAT


a/n: sebenarnya aku malu, karena karya ini gagal. terima kasih telah sudi membaca kisah pilu Sadewa.

(B)ilangWhere stories live. Discover now