Bab 18 : Membantu Naura

38.1K 1.5K 63
                                    

📌 Revisi bab lama. Jangan salfok sama komen yang mungkin nggak nyambung.

_________________________________________
.
.
.
.
.

Kami pernah saling mengucap cinta kemarin, tetapi sekarang, saat Adit menyerahkan uang gaji bulanan yang dia sebutkan di awal pernikahan, aku jadi ... entahlah.

Aku benar-benar seorang istri bayaran yang disewa untuk menutupi aib adiknya. Padahal, aku pikir kemarin kami akan jauh lebih dekat lagi. Bukan sekadar kontrak. Menolong Naura untuk menyembunyikan kehamilannya, tidak masalah. Aku bersedia melakukannya senang hati, tetapi setelah dibayar begini.

Aku tidak tahu mendeskripsikannya.

"Terima kasih," ucapku seraya menerima pemberian Adit.

Tidak perlu jual mahal mulai sekarang, karena aku butuh biaya persalinan, dan kebutuhan anakku nantinya.

Setelah aku memasukkan uang ke laci nakas, aku melirik Adit yang tampak aneh melihatku. Hanya sebentar. Sebelum ekspresinya berubah biasa saja, kemudian pergi dari hadapanku.

"Kamu punya kebutuhan, Nissa? Tidak biasanya. Kalau ada, kamu bisa cerita ke saya," ucap Adit ketika dia mengambil salah satu jaketnya dari almari.

"Nggak ada, kok," untuk sekarang ini. Aku melanjutkan dalam hati.

Tersenyum kikuk, ketika Adit menghampiri, dan mengusap kepalaku.

"Kamu istri saya. Kalau kamu perlu sesuatu, tinggal bilang saja, oke? Tidak perlu tunggu setiap bulan untuk saya berikan kamu nafkah."

Dia anggap ini nafkah, ya? Aku sedikit tersentuh. Mengangguk dua kali, aku mengiyakan ucapannya. Aku pikir, dia akan beranjak, tetapi tidak. Adit malah berjongkok di hadapanku yang tengah duduk di pinggiran sofa.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Adit, yang berupa nada bisikan. Tangannya yang semula bertengger di atas kepala, turun ke wajah.

"Nggak papa." Seperti biasa, menyembunyikan masalah adalah keahlianku.

Adit mengusap pipiku beberapa kali. Pandangannya silih berganti ke mata dan bibir. Tidak perlu menebak. Ketika Adit memajukan wajah, aku sudah mengerti.

"Tolong, kalau nggak mau anak ... setidaknya pakai pengaman."

"Ah, ya." Adit menjauhkan dirinya. Menuju lemari lagi, untuk mengambil sesuatu.
Sesuai permintaanku.

Lalu, kembali lagi ke tempatnya berjongkok tadi, kali ini dengan posisi berdiri. Memegang kedua sisi wajahku, untuk membantu tubuh kami saling rebah.

Hanya saat seperti ini, aku merasa dicintai oleh Adit, dan melupakan masalah kontrak yang membatasi kami berdua.

***

Aku membawa keripik kentang ke depan televisi, tempat biasanya Naura duduk mendekam diri sendiri. Sejak berlibur di pantai tempo dulu, dia nyaris tidak pernah meminta keluar untuk refreshing lagi.

Aku yang selalu dipanggil anak rumahan pun, kalah dengan Naura.

"Kamu nggak ada niatan keluar liburan lagi, Nau?" tanyaku, seraya menyodorkan toples pada Naura.

Pernikahan di Atas Kertas ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang