19. Struggle

692 96 1
                                    

"Saya ingin melakukan reservasi." Kalimat tersebut diucapkan oleh dua orang gadis secara bersamaan, kedua mata itu kini saling berpandangan dan melempar senyum sekilas, lalu menoleh kembali pada resepsionist wanita berambut pirang yang dicepol ke atas. Bibir merah resepsionis bername-tag Stella itut menguarkan senyum manis pada dua orang tamu wanita di depannya - yang datang secara bersamaan. Namun sepertinya keduanya tidak saling mengenal.

"Saya ingin memesan satu kamar untuk malam ini." Renesya membuka suaranya lebih dulu.

"Saya juga." gadis di sebelahnya yang tak lain adalah Hanna ikut menimpali.

"Maaf miss, kamar suite room yg tersedia tinggal satu, semuanya telah full booking, banyak yang melakukan reservasi sejak kemarin karerna malam ini akan ada acara night party di kafe hotel ini." Stella menunjukkan air muka pernohonan maaf .

"Kalau begitu saya yang akan mengambilnya." Hanna berseru cepat, seraya membenarkan posisi koper besar yang dibawanya, seolah menegaskan bahwa dialah disini yang lebih membutuhkan tempat tinggal sementara di hotel ini. Hanna tidak bisa memikirkan hotel mana lagi yang bisa dia datangi dengan membawa koper besar miliknya dia sudah cukup kelelahan, padahal ia sudah meninggalkan sebagian barangnya di kamar hotel tempatnya menginap bersama Aiden semalam. Hanna melirik dari ekor matanya gadis berstelan kantor dengan tas genggam di tangan kirinya,. dia berasumsi gadis itulah yang harus mengaalah. Ya, arusnya memang begitu bukan, dia orang asing di negara ini.

"Tidak! Sayalah yang lebih dulu mengajukan reservasi, Hanna menoleh terkejut pada wanita yang berdiri di sampingnya. tidak menyangka telinganya akan mendengar kalimat serupa. Hanna melihat gadis itu menggerakkan jemarinya menyelipkan anak-anak rambutnya yang berantakan ke belakang telinga dengan gaya santai. Rambut hitam dan mata sipit itu menandaskan bahwa wanita itu memiliki wajah oriental yang sama sepertinya, bukankah itu berarti dia juga berasal dari negara yang sama dengannya.

"Tidakkah anda melihat saya kerepotan membawa koper besar ini, silahkan mencari hotel lain." ujar Hanna dengan suara selembut kapas namun tidak menutupi senyum sinisnya.

Sedangkan Renesya membalas senyum sinis itu dengan kalem, "Maaf miss tapi sudah jelas sayalah yang mengajukan reservasi lebih dulu." Renesya tidak ingin membuang-buang waktu dan tenaganya untuk mnecari hotel lain, lagipula hotel inilah yang paing dekat dengan apartemennya, dan dia bisa segera menyuruh orang untuk mengatar barang-barangnya kemari, Renesya telah memutuskan untuk tinggal sementara waktu di hotel sebelum besok pagi mencari sewa apartemen baru.

Sang reepsionis nampak kebingungan memutuskan sesuatu. "Maaf nona mungkin saya bisa menyarankan untuk anda berdua berbagi kamar saja, suite room yang tersedia di hotel kami memiliki twin bed yang bisa digunakan oleh dua orang." Keduanya nampak termenung sesaat setelah mendengar penuturan sang resepsionis.

"Dan kami akan memberikan undangan serta voucher gratis untuk kalian tamu terakhir yang melakukan reservasi di hotel ini, undangan tersebut bisa digunakaan untuk mengikuti party special nanti malam di kafe lantai paling atas." tambah Stella dengan senyum manisnya.

"Saya setuju!" Hanna berseru lebih dulu. Mata bulatnya berbinar senang tatkala mendengar kata undangan dan voucher gratis, seolah diterpa angin badai, senyum sinis beberapa saat lalu menghilang tak berbekas. Hanna tentu saja senang karena dia bisa menginap dan bersenang-senang untuk malam ini serta melupakan pria bernama Aiden.

Tidak mendengar jawaban serupa, Hanna menoleh lagi pada wanita di sampingnya. Dia hampir saja lupa kalau-kalau wanita itu tidak setuju dengan saran yang diajukan sang resepsionis.

"Baik saya tidak keberatan."

***

.

Tatapan mata pria itu terfokus pada satu objek disana ─ di sudut paling ujung, tepat di depan pintu. Seorang wanita yang berdiri kaku, terlihat ragu dengan langkahnya antara ingin terus berjalan atau berputar arah. Mata hitam pekat itu memicing, tidak sabar menanti. Seolah kesempatan di depannya saat ini hanya terjadi sekali di dalam hidupnya. Hingga pada akhirnya dia menyerah pada egonya yang memaksa tetap bertahan.

Pria itu berjalan mendekat , semakin mendekat - pada objek yang sejak tadi menjadi titik fokusnya. Dan bergumam dalam hati.

Baiklah kita lihat siapa yang akan menyerah lebih dulu. Dia atau aku?

Chieva
22 Juni 2020

Amor Impredecible - [ On Going ]Where stories live. Discover now