30. Forced

575 63 0
                                    

Tidak terasa jam pulang kantor akhirnya menyapa Renesya, gadis itu tersenyum senang mengingat hari pertamanya bekerja kembali di kantor ini berjalan dengan baik. Bayangan buruk tentang segala resiko menjadi bahan gosip atau apapun itu benar-benar tidak terjadi, justru teman-teman kantornya sangat senang melihatnya kembali, terutama Lucy dan Audrey, dua gadis itu sempat kaget saat melihat dirinya bersama Grace sedang berbicara di ruangan bagian editor tempat mereka bekerja selama ini. Namun mereka tidak bertanya macam-macam, malahan mengusilinya dengan memberikan puluhan tumpukan naskah baru yang harus diperiksa, padahal itu merupakan tanggung jawab mereka.

Tepat pukul lima sore, Renesya masih sibuk membereskan barang-barangnya, tinggal dia sendiri yang tersisa diruangan ini, sedangkan teman-temannya yang lain sudah pulang lebih dulu, beberapa menit yang lalu Grace juga baru saja dijemput Matt.

Tadi siang Renesya baru saja menemui Mrs. Burton diruangannya. Sebenarnya Renesya merasa canggung menemui atasanya tersebut, tapi mau bagaimana lagi, jika Mrs. Burton sendiri yang memerintah Renesya untuk datang ke ruangannya, tentu Renesya tidak bisa menghindar. Lagipula memang sudah seharusnya dia menemui Mrs. Burton atas kembalinya dia bekerja di kantor tersebut. Diluar dugaan, atasannya itu menyambut dengan antusias dan merasa senang akhirnya Renesya bisa kembali bekerja. Senyuman manis terus menguar dari bibir Mrs. Burton, tidak seperti biasanya yang selalu terlihat datar tanpa ekspresi, Renesya sungguh tidak menyangka akan menerima sambutan sehangat itu dari atasannya.

Selain itu Mrs. Burton juga tidak lupa mengingatkannya kembali pada project novel romance dewasa yang harus segera dia kerjakan. Penangguhan atas project tersebut sudah ditiadakan dan Renesya diminta untuk segera menulis kembali naskahnya, Mrs. Burton bahkan sudah menyiapkan surat perjanjian kontrak penerbitan yang harus dia tanda tangani dan mengikatnya penuh untuk segera menyelsaikan project tersebut dalam waktu tiga bulan.

Renesya berjalan keluar dari ruangannya dengan pikiran yang dipenuhi oleh kemelut mengenai naskah projet novelnya itu, jujur saja, sejak insiden yang dia alami beberapa waktu lalu membuat mood nulisnya benar-benar buruk. Tapi dia juga tidak memiliki alasan apapun untuk menolak project naskah itu, dan sialnya lagi hanya dengan menyelesaikan project itulah satu-satunya cara agar dia terbebas dari hutang financial pada Marcus, Mau tidak mau Renesya harus melakukan semuanya dengan baik, untuk bisa mencapai hasil yang maksimal dari penjualan novel itu nantinya. Benar-benar sial!

Sebenarnya Renesya merasa janggal dengan apa yang terjadi hari ini, dan dia tau pasti, ini semua merupakan ulah Marcus sialan, Renesya penasaran seberapa berpengaruhnya pria itu. Sebuah fakta yang terpampang jelas di hadapannya, segala kemudahan Renesya alami, tepat ketika dia mau mengikuti perjanjian yang Marcus berikan.

Semua itu membuat Renesya semakin menyadari akan satu hal. Dalam menghadapi Marcus, dirinya harus bermain cantik, dengan artian tidak ada kata penolakan dan bantahan secara lugas. Yang harus Renesya lakukan adalah melawan diam-diam tanpa terlihat. Dari luar dia akan terlihat mengikuti semua keinginan pria itu untuk memudahkan segala urusannya, sedangkan dari dalam dia akan berusaha semaksimal mungkin mencari celah yang dapat dia gunakan untuk melawan Marcus dalam satu gertakan sekaligus.

Tanpa disadari sudut bibir Renesya tertarik ke atas, memikirkan ide brilian mengenai segala macam strategi untuk menghadapi Marcus.

"Sampai kapan kau akan mematung dan tersenyum layaknya orang bodoh di pinggir jalan seperti ini."

Detik itu pula sebuah suara menyentaknya kembali pada kesadaran dari segala lamunan angannya, Renesya menoleh ke kanan dan kiri ternyata dari tadi dirinya sudah berdiri di pinggir trotoar berniat untuk menyetop sebuah taksi, sayangnya tidak ada satupun yang lewat, hingga membuatnya berakhir melamun tanpa arah.

Pandangan Renesya kini lurus kedepan mata coklatnya mendapati seorang pria berkacamata hitam yang sedang melongokkan kepalanya sedikit dari kaca mobilnya yang diturunkan separuh.

"Untuk apa kau disini?" Renesya membelalak kaget tatkala menyadari bahwa pria itu adalah Marcus.

Bukannya menjawab, Marcus justru membuka pintu mobilnya dari dalam.

"Cepat masuk."

"Tidak! aku bisa naik taksi."

"Masuk kubilang."

"....."

Renesya masih tetap bergeming, enggan mengikuti keinginan Marcus, sepertinya Renesya sedikit lupa dengan permainan cantik yang telah direncanakannya, entahlah hati Renesya merasa tidak rela jika harus mengikuti keinginan pria sialan itu begitu saja.

"Masuk, atau aku yang akan keluar dan menggendongmu lalu melempar tubuhmu di jok belakang."

Renesya mendengkus, dengan berat hati tangannya terulur membuka lebih lebar pintu mobil Marcus, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi samping kemudi. Marcus tersenyum puas melihat Renesya mau mengikuti keinginannya meskipun harus memakai sedikit cara paksaan, dengan perlahan Marcus mulai menjalankan mobilnya.

Tidak ada obrolan apapun diantara mereka, sejak tadi Renesys terus mengalihkan pandangannya pada jendela mobil, enggan menatap lurus kedepan apalagi menoleh kesamping pada seseorang yang sibuk mengemudikan mobilnya.

Renesya mengerutkan kening ketika menyadari mobil yang dia tumpangi memasuki kawasan Fifth Avenue, kali ini Renesya menolehkan kepalanya pada Marcus, keningnya mengerut dalam, bibirnya menutup dan terbuka antara ingin bersuara dan tidak.

"Untuk apa kita kemari?" rasa penasaran mengalahkan ego Renesya yang sebenernya enggan berbicara dengan Marcus.

Renesya masih waras dan selalu mengingat untuk tidak menghambur-hamburkan uangnya setelah semua kesulitan yang dia alami beberapa pekan lalu, dia bahkan baru kembali bekerja dan belum ada sepeserpun gaji yang masuk ke rekeningnya bulan ini. Belum lagi hutang-hutang yang dimilikinya pada Marcus, Renesya harus menahan sekuat tenaga hasrat belanjanya dalam waktu beberapa bulan kedepan sampai segala urusannya dengan Marcus selesai. Dan sekarang pria sialan ini justru membawanya ke pusat perbelanjaan paling bergengsi di sepanjang jalan 49th Street, Damn it! Renesya memang bukan wanita gila belanja, tapi tentu saja hasrat konsumtifnya sebagai wanita selalu tergiur melihat barang-barang mewah bermerk yang menyilaukan mata.

Tanpa menjawab pertannyaan Renesya, Marcus justru keluar dari mobil, lalu menarik tubuh Renesya dan mengikuti langkahnya.

"Heeeiii...! aku ingin pulang." Renesya berusaha menahan langkah kakinya.

"Ikuti aku." jawab Marcus singkat, lalu kembali menarik pergelangan tangan Renesya, membawanya memasuki salah satu pertokoan ternama di jalan tersebut. Gadis itu hanya bisa mengumpat dalam hati, seraya mengikuti langkah lebar Marcus.

Amor Impredecible - [ On Going ]Where stories live. Discover now