15. Fortune Green Tea

6.4K 1.1K 303
                                    

"Win, ini mericanya seberapa banyak?" tanya Shone sembari mengangkat bungkus merica bubuk.

"Setengah sendok aja."

Shone mengangguk kemudian melakukan semua yang Winter suruh, sementara cewek itu masih sibuk mencuci beberapa sayuran yang akan dia jadikan Capcay.

"Aduh..."

Winter menoleh saat mendengar Shone berdesis. Ternyata cowok itu sedang mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Ia melepas pisau dan bawang merah yang dipegangnya lalu menatap ke arah lain. Baru saja Shone hendak menyeka matanya yang perih dan berair, Winter segera menahan tangannya.

"Jangan pakai tangan yang abis pegang bawang, nanti malah makin perih. Liat ke atas terus kedip-kedip," ujar Winter yang segera dituruti Shone. Cewek itu lalu menyeka air mata yang jatuh di sudut mata Shone. "Masih perih?"

Shone menggeleng lalu kembali menurunkan pandangannya. "Udah enggak."

Ekspresi Shone saat ini terlihat begitu menggemaskan di mata Winter, membuat cewek itu tidak bisa menahan tangannya untuk tidak mencubit gemas hidung Shone. "Kan tadi gue udah bilang nggak usah kupas bawang merah, ntar biar gue aja."

Shone tersenyum. "Nggak apa-apa."

"Ya udah lo lanjut nguleknya. Gue mau motong-motong sayur."

Shone mengangguk. "Iya."

Setelah masakannya hampir jadi, Winter menyuruh Shone untuk mandi sementara dia akan menata sendiri makan malam mereka. Shone itu terkadang ceroboh, Winter tidak mau cowok itu membantu menata piring dan makanan dan berujung ada piring atau gelas yang pecah.

Sentuhan terakhir yang Winter berikan pada meja makan mereka adalah beberapa lilin. Ia tersenyum setelah penataannya selesai. Sesaat, matanya menerawang jauh ke masa lalu. Barangkali Shone lupa soal hari ini, tapi Winter sama sekali tidak lupa. Dia tidak marah karena Shone tidak mengingat apa yang ada di balik tanggal ini karena sebenarnya ini hanya perayaan sepeleh.

Winter beranjak ke kamar mandi yang terletak di kamar tamu dan membersihkan diri di sana karena kamar mandi di kamar mereka pasti sedang dipakai Shone. Tidak butuh waktu lama bagi Winter menyelesaikan urusannya. Ini bukan malam yang begitu spesial, jadi Winter hanya mengenakan dress rumahan biasa. Toh juga Shone saja tidak mengingat hari ini.

Saat kembali ke meja makan, sudah ada Shone yang duduk di sana. Ia tersenyum menyambut Winter.

"Em... Win?"

"Ya?"

"Waktu itu kamu ngomong sama Mas Belgio di telepon soal Fenty-Fenty itu. Udah dia beliin?"

Winter terdiam sebentar lalu menggeleng. Dia tidak tahu Shone menguping pembicaraannya dengan Belgio soal Fenty Beauty yang sedang trend di kalangan teman-temannya. Lagian itu sudah lama banget, sekitar tiga bulan yang lalu. "Dia lupa. Janjinya sih ntar pas liburan selanjutnya baru beliin. Kenapa emang?"

Shone meraih sesuatu di kursi sebelahnya. Sebuah paper bag berwarna cokelat. Perlahan, dia menyodorkannya pada Winter. "Aku... aku nggak tahu bener kayak gini apa enggak soalnya aku aku belinya sendiri pas temenin Om Rayhan ke Australia waktu itu," ujarnya pelan.

Untuk beberapa saat, Winter hanya bisa berkedip-kedip ke arah paper bag mewah yang disodorkan Shone. Dia tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Siapa yang bisa membayangkan seorang Ohio Shone Hunares punya inisiatif membelikan istrinya kosmetik?

Sudah lama Winter ingin melihat Fenty Beauty berjejer di meja riasnya bersama produk make up-nya yang lain, tapi namanya juga Winter. Dia akan menunggu yang gratis dibandingkan membeli sendiri. Kalau ada Belgio yang sering mondar-mandir ke luar negeri dan memiliki gaji lebih banyak dibandingkan dirinya, kenapa harus beli sendiri?

Jadi, selama ini yang Winter lakukan hanya merengek pada Belgio agar kakaknya itu berbaik hati membelikannya, tapi cowok itu malah lupa. Janjinya, Belgio akan membawakan kosmetik itu pada Winter di liburan selanjutnya.

Winter tidak menyangka malah Shone yang membelikan sewaktu dia ke Australia bareng Om Rayhan. Winter ingat, Shone berangkat ke Australia empat hari sebelum pernikahan mereka. Padahal Shone hanya dua hari di sana. Winter tidak menyangka cowok itu menyempatkan diri untuk membelikannya benda-benda ini. Apalagi saat Winter merengek pada Belgio melalui telepon saat itu, Shone sedang sibuk bermain game di ponselnya, sama sekali tidak terlihat menyimak pembicaraan Winter dan kakaknya.

"Buka dulu deh."

Usai mengendalikan keterkejutannya, Winter mengeluarkan kotak berwarna keemasan dengan pita maroon yang melilit cantik di sana. Perlahan, Winter melepas pita itu dan membuka kotak tersebut. Ia menatap takjub jejeran kosmetik yang tersusun rapih di sana.

"Ini..."

Shone menggaruk tengkuknya. "Aku susun sendiri, jadi maaf ya kalau nggak bagus."

Winter tidak bisa menahan haru. Mulai lagi dramanya. Perlahan, cairan bening menetes dari sepasang matanya.

Bukan. Ini bukan soal Shone membelikanya Fenty atau apa. Biarpun yang dibelikan Shone hanya produk kw dari merek murahan pun Winter akan tetap tersentuh.

"Aku ditanyain soal shade kulit yang mau pakai foundation dan segala macamnya tapi aku nggak tahu, jadi aku ngira-ngira aja shade kulit kamu yang mana. Cocok gak, Win?"

Winter mengalihkan pandangannya pada Shone yang menatapnya was-was. "Shone..."

"Ya?"

"Sebenarnya... ini untuk apa? Aku tahu ini hadiah, tapi dalam rangka apa?"

Shone tersenyum. Dia berpindah duduk ke samping Winter. "Ngerayain enam tahun yang lalu, aku ketemu cewek yang nggak sengaja numpahin green tea ke jaket aku di festival ulang tahun kampus."

Winter tertawa setelahnya. Ternyata Shone ingat pertemuan awal mereka. Tanggalnya memang tidak begitu mudah dilupakan karena bertepatan dengan tanggal ulang tahun kampus mereka. Dan bagi keduanya, momen itu memang akan selalu melekat pada masing-masing memori mereka. Meskipun baru kali ini mereka merayakannya, tapi di tahun-tahun sebelumnya mereka selalu mengusahakan mencari waktu untuk dihabiskan bersama pada tanggal ini.

"Winter," panggil Shone lembut.

Winter mengangkat pandangannya ke arah mata Shone. "Hm?"

Shone menggeleng pelan. "Itu... mudah-mudahan kamu suka sama hadiahnya."

"Aku suka. Makasih ya, Shone. Maaf aku nggak ngasih apa-apa. Soalnya aku kira kamu lupa sama hari ini."

Shone tersenyum. "Gak apa-apa. Makan malamnya kan udah jadi hadiah."

"Kalau tau kamu bakal beliin gini, harusnya waktu itu aku nyebut Dior," gumam Winter.

"Hah? Apa, Win?" tanya Shone.

Winter segera menggeleng. "Enggak kok."

Mereka terdiam sesaat sampai Winter menyentuh rahang Shone, memberi usapan kecil di sana. Shone tersenyum kecil lalu menyentuh tangan Winter dan menggenggamnya pelan. Entah siapa yang duluan memulai, bibir keduanya kini telah menempel satu sama lain. Salah satu tangan Shone beralih pada punggung Winter, memeluk wanita itu dengan erat sementara ciuman mereka semakin dalam.

Winter melepaskan pagutan mereka. "Makan malamnya ntar keburu dingin," bisiknya.

Shone terkekeh kecil lalu mengangguk. "Ya udah, makan dulu."

Makan malam keduanya berlangsung dengan damai, tanpa kejutekan atau kesinisan Winter seperti biasa. Tidak ada satupun nama Audy yang disebut. Obrolan diisi dengan bahasan mengenai pertemuan pertama mereka dulu hingga mereka berpacaran dan akhirnya bisa menikah. Dan jika sudah begini, apa Winter ikhlas mengakhiri semuanya dalam waktu enam bulan?

Half A YearTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang