1. Lempeng pertama (a)

1.9K 40 0
                                    

Hari terakhir Raja Akhenaten...
Kehangatan sore musim dingin menyelimuti puncak-puncak
Akhenaten yang terletak di Amarna, ibukota penuh misteri...

Mungkin diperlukan jarak yang dekat dengan kematian untuk memahami bahwa alam semesta tak pernah berhenti bergerak. Dia adalah seorang raja yang telah mencoba semua apa yang bisa ia coba di dunia ini, tapi tak ada akhirnya. Setelah menggunakan seluruh kekuatannya, kini dia menyadari bahwa ia akan terjatuh setiap saat.

"Sungguh aneh!" ucapnya kepada dirinya sendiri.

"Jadi, seperti ini rupanya. Jadi, kebebasan seorang raja, kebebasan dalam arti sesungguhnya, hanya dapat digapai dalam kematian. Kalau begitu, jadikanlah!" ucapnya pula....

Di senja sore hari yang indah, kedua matanya terpaku pada perkebunan gandum yang berombak seperti laut.

"Ketika menjelang ajal pun," ucap batinnya, tertawa pedih dengan keadaannya,

"salah satu dari kedua mataku akan selalu terpaku pada sisi-sisi lain dan takkan pernah tertutup dalam makna sesungguhnya."

"Mata ini...," ucapnya, "takkan pernah tertutup."

Akhenaten, yang disebut Raja Matahari oleh rakyatnya, sekarang merasakan kebebasan seperti seorang anak kecil. Sama seperti doa-doa di masa kanak-kanak, ajal membelai wajahnya dengan semerbak wangi bunga-bunga bermekaran.
Adalah sebuah tradisi bagi para raja yang naik tahta untuk menulis inskripsi mengenai raja yang baru saja meninggal.

Namun, Akhenaten atau Akhen, panggilan sang ibu untuknya, Berbeda dengan raja yang lain. Doa-doanya pun berbeda.
Tulisan-tulisan naskahnya juga tak sama. Dia sungguh tak memiliki kesamaan dengan para raja terdahulu.
Akhen dan teman seperjalanannya di Amarna sama sekali tak memedulikan kekacauan dan keributan yang terjadi di Memphis atau Teb. Mereka percaya dan memberikan hati mereka kepada Tuhan Sang Maha Pencipta, satu dan tak ada lainnya, pemilik hidup dan keabadian. Mengikuti jejak ayahnya, Akhen menugaskan kepala biara dan para peramal untuk menjauh dari segala hal atau tugas yang bersangkutan dengan kemajuan dan perkembangan kerajaan. Akhen kemudian menjalani sebuah kehidupan sederhana dan jauh dari dosa di Amarna, ibukota kerajaan yang baru ia dirikan.
Raja Akhen yang agung memandang ke arah tembok-tembok biru kehijauan seolah berhias batu zamrud yang terletak di Amarna pada kehangatan sore musim dingin seraya membaca doa.

Aton itu agung, satu, tunggal.
Tak ada selain Dia.
Satu,Dia adalah pencipta segala makhluk ciptaan
Aton adalah ruh, ruh yang tak terlihat...
Aton ada dari awal,
Dia adalah ciptaan tunggal.
Dia ada ketika tak satu pun ada.Dia menciptakan segalanya. Zat yang ada sejak awal masa,
Dia hidup dalam keabadian, Aton yang tersembunyi, tak satu pun yang pernah melihat Dia.Dia selalu menjadi rahasia bagi para manusia dan makhluk ciptaan-Nya."

Ketika Akhen membaca doa ini, dia merasakan embusan napas malaikat kematian di bahunya.Kemungkinan besar, bait-bait 'Saat itu dia tahu dan
paham bahwa ajal sudah berada di depan pintu' akan ditulis penerusnya dalam inskripsi setelah mengenang kejadian itu.
Sebenarnya, dia sama sekali tak terkejut dengan kedatangan ajal yang mendekat pelan di dalam kehangatan musim dingin. Namun, kematian, tak seperti apa yang dia bayangkan, berbentuk kereta besar yang ditarik oleh beratus-ratus pasukan berkuda, melayang turun dari langit. Di menit-menit itu, dia sepenuhnya merasakan embusan ajal yang datang menerobos melewati seluruh pasukan penjaga kota.
Setelah siang yang terik dan panas berlalu, terbisik sebuah embusan semerbak harum dari Sungai Nil ketika sang Raja memandang ke arah Delta. Waktunya telah tiba.... Kematian sejauh ini selalu ia bayangkan sebagai seorang komandan yang sombong dengan mengenakan baju perang yang kokoh terbuat dari tiga puluh jenis bulu burung dan memancarkan sinar menyilaukan kedua mata. Tapi, rupanya sama sekali tak seperti itu.
Kematian bukanlah pertemuan yang tertunda. Ia hadir bersama dengan kelahiran di kehidupan ini.
Ia tak langsung berada di samping pintu rumah kita..., tapi tertulis dalam buku takdir.
Kematian seperti air Sungai Nil. Ia selalu bersabar di bawah terik siang hari yang panjang, terbakar, belajar dari keriuhan yang melaluinya, tapi sering menangis ketika malam yang panjang tiba, dengan kehausan dan kesulitan-kesulitan yang ia hadapi, seperti seorang manusia. Kematian mendekat kepada sang Raja Matahari seperti seorang sahabat lama. Semuanya sama seperti alunan lagu Ilahi, 'Saat itu, dia tahu dan paham bahwa ajal sudah berada di depan pintunya...'

Seperti selimut yang terbuat dari bulu burung yang tak bisa melindunginya dari cuaca setelah kehangatan siang, sang Raja segera menyadari bahwa ini merupakan sebuah perpisahan.Tangan hangat perpisahan yang menyentuh bahunya mengingatkan Raja Akhen kepada istrinya, Ratu Nefertiti.Kalangan istana memanggilnya, 'Pengantin Perempuan dari Utara'.

Tubuhnya menjulang tinggi, ramping, dan tak pernah membuka rahasia kesedihannya. Dahinya memancarkan kecerdasan, dengan kedua mata sipit dan cerah. Lekukan hidungnya sempurna. Kulitnya pun putih memesona. Karakter bersahabat dan pemberani selalu melekat kepada ratu yang datang dari utara ini, tak tertandingi ratu lainnya dan selalu menjadi pelopor.Mengingatkan pada alunan lagu Ilahi yang didendangkan
dengan merdu, seperti butiran-butiran mutiara dari sebuah kota jauh yang tercantum dalam kisah-kisah. Kemurahan hati dan keramahannya yang selalu menginginkan seorang putra diantara putri-putrinya yang ia lahirkan membuatnya mendidik mereka bukan seperti seorang putri, melainkan seperti pangeran atau panglima perang.

Rasa rindu sang Raja memuncak ketika mengenang Nabi Yusuf u yang mempertemukan dirinya dengan ratunya di antara tanda cinta dan kesetiaan. Embusan udara hangat dari Sungai Nil membawa hari-hari indah itu kembali hingga kedua matanya berlinang air mata.

Tiba-tiba, seakan hanya ada jarak selebar bahu antara dirinya dan orang-orang yang dia cintai, seperti salju berwarna putih yang memeluk erat puncak gunung.

"Seandainya aku bisa menyentuhnya dengan bahuku, seakan seluruh tembok-tembok di dunia telah terdaki. Dengan mengubah arah sinar, seakan perbedaan di sini dan di sana hilang seketika. Seakan aku bertemu kembali dengan ratu dan nabi," terlintas dalam batin Raja Matahari.

Kenyataannya, orang-orang yang dia cintai tak berada di dekatnya. Orang-orang yang dia rindukan berada di tempat jauh. Mereka telah hijrah ke alam lain. Tapi sungguh aneh, di waktu yang sama mereka terasa dekat, sedekat embusan napas. Seolah mereka tak pergi sama sekali. Dia mencintai mereka seperti mereka selalu berada di sisinya. Jika cinta sedalam dan semurni kristal, Allah menjanjikan hadiah yang abadi kepada cinta itu. Jarak dan perbedaan hilang, jiwa-jiwa saling berpelukan, meskipun menghadapi rintangan. Walaupun kulit jiwa terbakar dan terpanggang oleh pedihnya perpisahan, cinta terus bertahan dari segala penghalang.

Asiyah 🍁Sang Mawar Gurun Fir'aun 🍁Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum