Cianjur, 1915
" Neng, bangun sudah pagi, " tidak seperti biasanya suara ema terdengar sangat sedu membangunkanku.
Perlahan kedua kelopak mataku terbuka membiasakan diri dengan bias-bias sinar matahari pagi yang memenuhi kamar.
Hal pertama yang ku lihat adalah wajah sedu ema. Kedua matanya sembab. " Ema, kunaon(1)? Ema habis menangis? " Ia terduduk di samping ranjang yang terbuat dari rotan dan papan dilapisi selembar kain tipis.
Di keluargaku memang sehari-hari menggunakan bahasa Sunda karena kami berasal dari Cianjur.
Keluargaku adalah asli pribumi. Seperti pribumi lainnya, aku memiliki rambut hitam legam sepunggung, kulit coklat, tapi mataku berwarna coklat terang padahal aku tidak memiliki darah campuran apapun.
Ema hanya tersenyum lalu menggeleng, ia mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang.
" Ada tamu yang mau bertemu dengan neng, "
Aku mengerutkan dahi bingung. Siapa yang mencariku pagi-pagi seperti ini?
Lantas aku mengikuti ema menuju ruang keluarga. Ruangan yang sebenarnya menjadi ruangan multifungsi di rumah ini karena kami melakukan semua aktivitas disini.
Terdapat satu meja kayu yang sudah reyot di tengah ruangan dan empat kursi kayu yang tidak kalah reyotnya. Kami hanya memiliki empat kursi sesuai dengan penghuni rumah, yaitu aku, ema, abah dan Jaka adik laki-laki ku yang masih berumur 8 tahun. Jarang sekali kami menerima tamu.
Rumahku hanya terbuat dari sekat kayu, lantai nya tanah berwarna merah dan atap rumah ku terbuat dari jerami yang ditumpuk, sehingga ketika musim hujan datang kami kadang harus rela kebanjiran.
Sebenarnya lebih cocok disebut gubuk dari penampilan dan isinya, tapi entah mengapa aku lebih suka menyebutnya rumah karena walaupun hidup kekurangan di sini aku bersama dengan orang-orang yang mencintaiku.
" Ini anaknya bapak Asep ? Cantik sekali seperti bunga. " seorang perempuan indo berpakaian ala noni Belanda duduk di kursi reyotku, ia sepertinya baru berumur di awal 30-an. Sepertinya darah Eropa lebih mendominasinya, ia sangat cantik. Kulit putih, rambut coklat dan bermata hazel.
" Iya, ini putri sulung saya. Umurnya 14 tahun," jawab abah.
" Sri Dewi Saraswati, juffrouw(2) bisa memanggil abdi(3) Dewi, " aku membungkukkan badan memperkenalkan diri.
" Lieve(4), tidak perlu seperti itu. Namaku adalah Srintil Arabella, kamu bisa memanggil Arabella saja, " suara Arabella mengalun lembut.
Aku mengangguk menanggapinya.
" Mooi(5) saya suka, " Arabella memandangi aku dari atas kebawah menilai seolah aku ini hewan di pasar yang akan ia beli.
Aku menanggapnya sebagai pujian, sehingga aku tersenyum. Aku memang tidak bisa berbicara berbahasa Belanda, tapi aku mengerti apa yang mereka katakan sepertinya karena mendengar kompeni-kompeni yang berbicara.
" Nah, Dewi sekarang ayo bersiap karena sebentar lagi kita akan pergi, " lanjut Arabella.
Aku memandang kedua orangtua ku bergantian dengan bingung. Bersiap ? Kemana? Untuk apa? " Kemana? "
" Kamu belum tahu? Kita akan ke Bandung untuk bekerja," Arabella menjawab dengan nada bicaranya yang anggun.
" Bekerja apa? Berdagang? "
Keseharianku biasanyahanya membantu ema dan abah berdagang arang milik saudagar kampung, Jaka jugaikut membantu. Seharusnya saat ini aku berada di MULO(6) dan Jaka di HIS(7), tapi apa daya keluargakami tak memiliki sepeser gulden(8) pun untuk dapatmengirimkan kami berdua ke sekolah, hasil yang didapat dari pekerjaan kami hanyaseikat ubi, selain itu juga kami bukan dari kalangan bangsawan, tokoh terkemuka
Setiap harinya kami juga hanya makan ubi yang kami dapatkan. Kadang jika sedang beruntung dan memiliki waktu, abah akan menangkap tupai di hutan, sehingga kami dapat memakan daging.
Arabella tersenyum sangat manis, " Tidak – tidak. Kita akan bekerja yang menyenangkan dan menghasilkan uang banyak. Kita akan ke Bandung. "
Jantungku langsung berdetak bersemangat mendengar kata ' uang '. Apakah ini akan menjadi titik balik hidupku? Langsung terbayang berbagai pekerjaan yang menyenangkan di kepalaku begitu mendengar ajakan Arabella.
Bandung kota yang besar, salah satu pusat hiburan dan pekerjaan di Hindia Belanda.
" Baiklah, aku mau! " ucapku bersemangat.
Aku langsung bergegas ke kamar membereskan barang yang akan ku bawa ke Bandung. Barangku tidak banyak. Hanya beberapa potong kain saja karena aku memang tidak memiliki apapun yang cukup penting untuk dibawa kecuali yang akan aku pakai sehari–hari.
Kini aku mengerti tatapan sedu ema tadi pagi dan matanya yang sembab. Ia pasti sedih melepaskan anak perempuan semata wayangnya untuk pergi ke kota. " Ma, jangan sedih. Aku akan kembali dengan uang yang banyak lalu Jaka bisa masuk HIS."
" Teu kitu neng(9). Ema khawatir kamu kenapa – kenapa. " ema memelukku erat dengan mata berkaca – kaca.
" Sok, tulis surat untuk abdi, " kali ini gantian Jaka yang memelukku.
" Setiap minggu Jaka," aku balas memeluk adik kecilku erat.
" Hampura(10), neng. Abah tidak bisa memberi uang karena bapak tidak punya, tapi ambillah ini. Buatan abah bersama kake mu dahulu, " abah memberikan suling bambu ditanganku.
Air mata sudah mengambang di sudut mataku, tapi berusaha ku tahan. Kami berpelukan bersama untuk terakhir kalinya sebelum aku melangkahkan kaki keluar rumah.
Sebuah dokar berwarna hitam sudah terparkir di depan rumah memancing perhatian dari warga sekitar. Orang-orang berbisik saling bertanya untuk apa ada dokar di depan gubuk buruh cengkeh, dokar ini memang tidak mewah, tapi untuk ukuran orang kampung yang tidak pernah melihat dokar sebagus ini, milik Arabella sudah cukup. Besi-besi hitam yang menjadi badan dokar terlihat kokoh, sampingnya tidak memiliki jendela, tapi bisa ditutup dengan kain yang menyambung dari atap dokar.
" Putri saya rek gawe di Bandung! Dia akan sukses disana! " abah berteriak kencang, sehingga orang – orang bisa mendengar lalu lekas bertepuk tangan.
" Abah.. " aku memelas malu, tapi abah malah tersenyum sangat lebar. Ketara sekali ia sangat bahagia dan bangga.
Pasalnya dari kampung ini belum pernah ada yang dikirim ke Bandung untuk bekerja. Aku yang pertama dan tentu saja itu membuat kebanggaan tersendiri bagi kami warga ampung.
Aku tersenyum lalu melambaikan tangan kepada kampung ku sebelum masuk ke dalam kereta duduk di sebelah Arabella yang cantik.
Footnote:
1. kenapa
2. nona
3. saya
4. sayang
5. cantik
6. Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) setara SMP, sekolah untuk anak pribumi biasa dan timur asing
7. Hollandsche InLandsche School (HIS) setara SD, sekolah untuk anak pribumi biasa dan timur asing
8. Mata uang Hindia Belanda
9. Bukan begitu
10. maaf
11. Kereta kuda
12. Bekerja
KAMU SEDANG MEMBACA
Gundik
Historical FictionBiarkan aku bercerita, Kalian mungkin akan berpikir ini adalah tragedi, tapi tanpa cerita ini aku tidak akan pernah bangga menjadi gadis pribumi Hindia Belanda. Jika aku bisa memilih, aku tidak mau lahir di dunia seperti ini. Begitu juga dengan kali...