Hallstatt

46 5 1
                                    

Sesuai dengan paksaan Ranu disinilah gue sekarang. Di Hallstatt. By the way, Hallstatt ini adalah the most beautiful village in Europe. Ya benar, Hallstatt adalah desa yang paling indah seantero eropa menurut gue karena di list gue Hallstatt masuk dalam daftar pertama.

Gue udah dari lama mau ke Hallstatt tapi belum kesampaian. Eh, sekarang si Ranu malah ngajak gue kesana. Gue dan Ranu berjalan sambil membawa carrier masing-masing yang berisi barang bawaan. Walaupun si Ranu memyarankan gue buat bawa koper aja karena ini mau liburan bukan mau hiking.

Tapi gue kekeh bawa carrier soalnya kalo bawa koper itu ribetnya nauzubillah. Funfact, gue itu malu kalo nyeret nyeret koper gitu. Kayak keliatan banget gue orang teribet sedunia. So gue bawa carrier aja.

"Kok lo bisa tahu gue punya wish list kesini dan motif lo ngajak gue kesini apa?" Tanya gue sambil menggaruk mata gue yang gatal.

"Siapa suruh geletakin jurnal sembarangan di atas sofa ruang tamu."

Gue langsung ingat-ingat ketika gue ngerjain tugas​ di ruang tamu. Dan dengan sembarangan gue geletakin jurnal yang isinya curhatan gue semua. Termasuk si Wishlisht itu.

"Oh iya!, Nggak sopan buka-buka jurnal orang!" Ucap gue ketus sambil berjalan mendahului Ranu.

"Gue nggak buka sama sekali tapi memang pas gue temuin itu dalam keadaan terbuka. Kebetulan di bagian Wishlist lo yang mau ke Hallstatt." Ranu menyamakan langkahnya dengan gue dan sekarang dia berada di samping kiri gue.

Ranu berencana menginap di hotel Seewirt Zauner di pusat kota, daerah Marktplaz. Ranu emang paling jago kalo soal memilih tempat yang Masya Allah indahnya. Jadi hotel yang akan gue tempatin viewnya langsung ke danau gitu.

"Ranu." Ucap gue sambil membentulkan posisi ransel yang gue gendong.

"Hmm"

"Laper"

"Buset. Tadi pas mau berangkat kesini lo udah makan."

"Ya, tapi kan..."

"Yaudah ayo!"

Gue dan Ranu berjalan beriringan. Ternyata Ranu sudah pernah kesini, katanya dia kalau lagi jenuh liburan kesini. Keren juga ya si Ranu. Holkay bebas cuy. Dia sudah paham seluk beluk Hallstatt, jadi kalau kalian mau ke Hallstatt suruh si Ranu aja jadi tour guide. Masalah bayarnya pakai go-pay juga bisa. Hahaha nggak bercanda kok.

Ranu mengajak gue ke satu toko roti yang bersatu dengan restoran dengan nama yang ribet kalau diucapkan. Abenddämmerung yang artinya Senja. Ranu masuk dan menyapa seorang laki-laki​ disana.

"Apa kabar lo, Ar?" Ucap Ranu ketika masuk ke dalam toko tersebut sambil salam ala laki-laki. Kalian tau lah gimana. Gue cuma diam nggak berkutik. Laki laki itu memakai celana Chino dan kemeja berwarna biru muda digulung sampai siku, rambutnya terlihat klimis dan rapi karena diberi pomade.

"Baik. Lo gimana kabar baik?, Berhasil?" Ucap Aryoga sambil melirikkan matanya sebentar ke gue. Dan jawaban Ranu hanya gelengan kepala.

"Rinjani, kenalin ini Aryoga. Aryoga ini Rinjani." Ranu mengenalkan gue kepada Aryoga. Gue cuma senyum ke Aryoga sambil berjabat tangan.

"Ada apa lo kesini?. Biasanya lo kesini kalo lagi jenuh doang."

Ranu cuma mengedikkan bahu. Perut gue sudah nggak bisa berkompromi. Lantas gue menyikut tangan Ranu agar cepat meyelesaikan dialognya dengan Aryoga.

"Ada singa kelaperan nih, Ar. Gue mau order dulu"

"Eits, khusus hari ini lo order ke gue aja. Buat orang yang khusus apa sih yang nggak." Ucap Aryoga kepada Ranu sambil menoleh kearah gue.

'Idih'

"Oke oke. Gue pesan yang biasa aja. Lo mau Rin?"

"Samain kayak lo aja"

"Siap Bosque. Segera datang"

Nggak lama makanan yang dipesan datang. Dan dengan cepat gue langsung menyambar piring yang diisi oleh roti baguette dengan isian krim keju dan salmon. Mantap jiwa. Aftertaste gigitan pertama. Mouth watering banget. Setelah selesai makan di restorannya Aryoga, gue sama Ranu langsung pergi ke hotel yang sebelumnya di booking. Perjalanan nggak jauh cuma 2 menit dari sini buat ke hotelnya.

Sampai di hotel Ranu langsung menghampiri meja resepsionis sambil menunjukka handphonenya. Gue berdiri di tengah-tengah​ ruangan mengamati arsitektur hotel ini yang sangat artistik. Gue rasa hotel ini udah ada dari zaman dulu. Keliatan dari bangunannya kayak rumah pertanian gitu. Keren pokoknya.

Gue dari tadi cengo buat ngelihat arsitektur dari hotel ini. Pegawai disini juga ramah banget. Pas pertama sampai, di suguhi welcome drink berupa wine. Tapi tentu, gue menolak dengan halus.

"Ini. Kunci kamar lo. Ayo" ucap Ranu sambil memberikan kartu yang menhadi kunci kamar.

"Thank you. Lo dimana?" Tanya gue sambil jalan menuju lift.

"Sebelahan sama kamar lo"
-

Kamar gue nomor 20 dan kamar Ranu nomor 21. Sesampainya di kamar gue langsung lempar asal carrier gue dan menjatuhkan diri gue ke kasur.

'Aaahhhh surgaaa'

Kalian tahu kan Ranu tipe orang yang semua kegiatan terencana. Mulai dari rentetan kegiatan sampai waktunya dia ketik di notes handphonenya.

Sekarang jam memujukkan pukul 8:10 Waktu Hallstatt. Nanti rencananya jam 9:00 Ranu mau ngajak gue ke suatu tempat. Belum tau juga itu kemana. Intinya sekarang gue capek banget mau tidur.

-
"Rinjani. Bangun. Jadi ikut nggak lo?" Suara Ranu membangunkan gue.

Gue hanyak ngangguk, segera mengikuti arah jalan Ranu. Ternyata​ dia ngajak gue ke bangunan tua dekat sama danau tapi di bagian belakang yang sangat sepi pengunjung. Disitu Ranu menggandeng gue ketika masuk ke dalam bangunan tua itu.

Ranu dan gue menuju puncak teratas bangunan tua ini. Disana Ranu hanya diam dan gue pun sama diamnya.

"Gue tetap memegang teguh perasaan ini. Sampai gue mati seka--"

"Sstttt. Lo ngomong apa sih. Pake bawa-bawa mati segala." Potong gue sepihak.

Ranu menoleh ke belakang ia melihat ada perempuan memakai masker sambil membawa pistol. Pistol itu mengarah ke gue. Sekujur tubuh gue beku seketika.

Dduarrrrrr...

Gue menatap Ranu ambigu. Entah tatapan apa yang gue berikan ke Ranu. Peluru itu berhasil melesat tepat di punggung kiri. Ranu. Posisi gue sekarang adalah di dalam dekapan Ranu, karena tadi Ranu reflek langsung memeluk gue. Sasaran wanita itu malah  pindah ke Ranu.

Ranu jatuh dan langsung gue tahan sekuat tenaga gue supaya nggak langsung jatuh ke bawah. Wamita itu melarikan diri.

"Ran, ayo Ran. Lo bisa Ran." Gye mencoba menyemangati Ranu yang mulai hilang kesadaran. Reflek Ranu gue tampar suapaya nggak hilang kesadaran. Gue melepas kemeja Ranu dan mengikatkan kemeja itu dari pundak kiri sampai bawah ketiak kanan Ranu untuk menahan darah yang keluar di punggung Ranu.

"Arrrgggghhhhh" ringis Ranu ketika gue menempelkan kemeja tadi di punggungnya. Tiba-tiba Ranu memegang tangan gue sambil tersenyum dan menatap gue dengan pandangan yang teduh. Tak lama mata teduh itu menutup. Terlalu banyak darah yang keluar. Lantas gue langsung cek urat nadi di pergelangan tangannya. Nihil.
.
.
.
Ranu meninggal.
-

rendezvouz [SELESAI]Where stories live. Discover now