1

10 0 0
                                    

Hari ini 22 Desember. Dan itu artinya tiga hari lagi natal. Seharusnya aku bergembira menyambutnya. Tapi tidak kurasakan dengan kondisiku sekarang. Di negeri yang penuh dengan bunga sakura di kala musim semi ini aku masih terpekur sendiri dalam kebimbangan. Hatiku resah, entah apa yang menjadi penyebabnya. Mungkin sudah kurasakan sejak beberapa bulan ini. Kuliahku baik-baik saja, bahkan aku termasuk mahasiswa berprestasi di jurusanku di universitas di negeri matahari terbit ini. Dan menjadi asisten Mr. Otto Kimura, dosen filsafatku.

Kupandang di luar jendela kamar, butir-butir putih masih saja turun, menutupi atap dan jalan-jalan. Indah, walau tidak sebanyak kemarin. Di dalam kamar masih menyisakan dingin walau sudah berada dekat perapian. Untungnya juga ditambah penghangat ruangan, sehingga tidak begitu terasa hawa dinginnya. Aku teringat kalau aku ada janji dengan teman kampusku, May Rose. Dia seorang Melayu, berasal dari Brunei. Sahabatku sejak aku menginjakkan kaki di sini. Di bekas kota yang di bom atom oleh Amerika 6 Agustus 1945. Kami janjian untuk membahas tugas kuliah yang akan dikumpulkan 3 minggu lagi, oleh Mr. Kimura. May seorang muslim dan walaupun begitu kami sangat akrab. Mungkin karena sama-sama berasal dari Asia Tenggara, dan rumpun bahasa yang mirip. Sudah 2,5 tahun ini kami bersama. Memang kami tinggal di apato yang berbeda, tapi tidak terlalu berjauhan. May seorang yang cantik dengan pakaiannya yang tertutup. Pernah aku menanyakan soal pakaiannya ketika di sini sedang musim panas.

"Kamu ngga kepanasan, May? Suhu udah hampir 40 derajat. Aku udah gerah. Panas nih". Tanyaku di suatu saat ketika kami berjalan pulang menuju apato dari belanja di supermarket.

"Tidaklah Grace, aku bahkan sangat nyaman dengan pakaian seperti ini. Tidak ada rasa was-was. Memang agak gerah, panas. Tapi api nerakaNya lebih panas berkali-kali lipat dari terik matahari ini". Jawabnya panjang dengan jari telunjuknya mengarah ke atas dengan logat melayunya sambil tersenyum melihatku.

Aku terdiam dan berhenti seketika. May yang melangkah duluan karena aku berhenti menoleh ke arahku. Dan tiba-tiba raut wajahnya berubah. Sedikit berlari ke belakang dia menghampiriku.

"Maaf Grace, maksudku bukan menyinggung perasaan kamu, bukan seperti yang kamu pikirkan. Hmm, aku tahu kita memang berbeda keyakinan, tapi tidak ada maksudku untuk menyinggung perasaanmu, maafkan aku". Terlihat wajah teduhnya menyemburat merah karena tertimpa matahari menyirami hatiku.

Sontak logikaku berjalan, May tidak salah apa-apa. Tadi aku yang bertanya, wajar saja kalau itu adalah jawabannya. Memang aku tidak heran melihat kaum muslimah di negaraku, Indonesia. Banyak yang menggunakan kerudung penutup kepala. Ada yang melilit leher, ada yang sebahu, ada yang setengah dada, bahkan sampai menutup hingga ke pinggul dan dada seperti May ini. Pemandangan ini sering aku lihat di Indonesia, di Padang, kota kelahiranku.

Aku asli Indonesia. Papaku asli dari Padang dan mama keturunan Tiong Hoa yang datang dari Manado. Papa seorang muslim yang taat, sedangkan mama beragama nasrani. Begitulah yang aku ketahui dari kerabat papa yang ada di Padang. Tak heran jika orang melihatku tidak meyangka aku beragama nasrani. Dengan perawakan sedang, kulit sawo matang, wajah tidak jauh berbeda dengan wajah papa yang asli orang Minang, orang menyangka aku adalah muslim karena wajahku sangat minang dan orang minang asli tidak ada yang beragama selain Islam. Aku ikut mama ketika papa meninggal saat usiaku masih 7 tahun. Pernah kerabat papa menawarkan akan merawatku tetapi mama keberatan. Walau masih satu kota, aku jarang bertemu kerabat papa, hingga suatu saat aku diberitahu mama kalau nenek dari pihak papa meninggal, dan aku disuruh ke rumah nenek, mereka adalah keluarga muslim yang taat. Dari situlah akhirnya aku tahu cerita tentang papa dan mama dulu.

" Ahh, tidak May, aku seharusnya yang minta maaf. Kamu tidak salah apa-apa. Kan tadi aku yang bertanya. Walau pertanyaan ini sudah ada sejak lama, tapi baru sekarang aku berani mengutarakannya padamu. Dulu aku tinggal di kota Padang, you know kan... suatu kota yang ada di pulau Sumatera Indonesia. Di sana banyak masyarakat yang menggunakan model beginian. Entah apa namanya, kerudung, jilbab, hijab. Begitu yang aku dengar. Kadang aku merasa nyaman melihat mereka, di bawah terik matahari seolah mereka terlindungi, dan terhindar dari godaan mata-mata liar laki-laki. Karena pakaiannya sangat longgar, berkibar ditiup angin. Sejuk. Tapi yaa gitu deh.. kalau melihat yang setengah-setengah pakaiannya, kepala ditutup dengan kerudung melilit leher, berpakaian tapi masih menggunakan celana jeans ketat, baju ketat, aku rasa itu sama saja seperti tidak menggunakan kerudung itu. Bedanya hanya rambutnya saja tidak kelihatan. Sudahlah lupakan soal itu, aku hanya penasaran saja". Pungkasku sambil tersenyum manis agar May tidak lagi merasa bersalah. Kembali kami berjalan menyusuri jalan yang di sebelah kirinya dipenuhi pohon perdu dan bunga-bunga rumput. Indah. May masih menunduk, walau kakinya ikut melangkah.

"Ayo. Hari semakin panas nih, kamu mau gosong di jalan ini?, sambungku sambil menarik tangan May berlalu melanjutkan perjalanan. Jilbabnya berkibar. Kulirik wajah May kembali tersenyum, manis sekali. Dia sudah seperti semula. Yang tidak aku ketahui bahwa, dalam hati May berdoa, Ya Allah, semoga suatu saat sahabatku ini dapat kupeluk dalam indahnya DienMu, Aamiin"

Kala Sakura Bermekaran di The Kintai BridgeWhere stories live. Discover now