2

8 1 0
                                    

"ada SMS ada SMS. Angkat dong, di baca ya" nada sms handphoneku bersuara anak bayi mengejutkan lamunanku. Kuambil handphoneku yang ada di atas meja belajarku, kulihat sms dari May, segera kubuka dan kubaca pesan singkatnya.

"Grace, maaf sekali, bukan aku melalaikan janji, tapi ada saudara papa datang dari Takaoka ke apatoku. Beliau adik perempuan papa yang menikah dengan orang jepang sini. Aku tak kuasa untuk menolak ajakan mereka berdua ke tempatnya. Janji kita batal hari ini, aku tak mau buatmu marah, tapi apa dayaku Grace?". Isi SMS May penuh dengan nada penyesalan.

Aku yang larut dalam lamunan tadi, melek mata. Saat ini memang aku tidak mau ngapa-ngapain. Hatiku lagi galau dengan sebab yang tidak aku ketahui. Dengan pembatalan janji dari May membuatku sedikit bernafas lega. Terpikir olehku untuk berjalan-jalan menyusuri jalan-jalan sekitar apato yang dipenuhi warna putih tertutup salju.

***

Kurapatkan syal abu-abu yang melingkar di leherku. Menggunakan coat tebal berleher tinggi, 4 lapisan dengan dalaman, boot selutut dinginnya hawa musim dingin masih terasa menembus kulitku. Kulihat anak-anak asli jepang berlarian riang saling melemparkan gumpalan salju mengenai tubuh teman-temannya. Ada senyum kepuasan di wajah bersih dan mata segaris mereka jika lemparan mengenai tubuh temannya itu. Kadang akupun ikut tersenyum melihat tingkah pola mereka. Mengingatkanku pada kehidupan kecilku dulu.

Aku ingat dulu aku sering berebut mainan dengan sesama temanku, padahal barang itu bukan milikku. Akhirnya membuat kedua ibu kami melerai dan saling menasehati kami. Mama, sosok yang aku rindui dalam 2 tahun ini. Seorang ibu yang sangat menyayangiku. Mengingatnya membuatku terkadang meneteskan air mata. Betapa tidak, dengannya aku hidup berdua tanpa papa di samping kami, mama berjuang banting tulang mencari nafkah karena sepeninggal papa tidak ada barang berharga yang tersisa, semua habis oleh pengobatan papa. Tapi semasa itu keluarga kami sangat bahagia, namun sayang mungkin tuhan lebih menyayangi papa. Dan mama tidak mau bergantung dengan keluarga besarnya. Padahal nenekku dari mama menawarkan untuk tinggal dengan mereka. Dan jadilah, aku tumbuh menjadi gadis yang mandiri. Berkat keuletan dan otakku yang kata guru-guruku sangat encer, aku mendapatkan beasiswa hingga ke bangku kuliah. Aku bersyukur dengan semua yang sudah aku dapatkan. Namun kini, entah mengapa dengan pencapaian yang aku dapatkan itu, aku merasa belum sepenuhnya bahagia.

"Gubraakkk ". Tiba-tiba lengan kananku sakit membentur sesuatu. Akupun tersadar dari lamunanku. Tak sengaja aku menabrak seorang lelaki yang mengendarai sepeda. Diapun terjatuh.

"Gomen. Gomen ne". Sahutku seraya membungkukkan badan sebelum melihat muka orang yang tertabrak olehku. Aku menunduk menyesal berjalan tanpa melihat kiri dan kanan karena lamunanku tadi.

"Daijyoubu. Daijyoubu". Jawab suara lelaki itu sambil berdiri dan menegakkan sepedanya. Akupun mendongakkan kepala. Kulihat wajahnya. Wajah asia kalau tidak Malaysia mungkin Thailand. Mungkin juga Vietnam atau mungkin Indonesia, sama sepertiku. Tidak seperti wajah-wajah mata bergaris asli jepang. Kulitnya pun cenderung sawo matang, tidak seperti lelaki jepang pada umumnya, putih pucat. Dan kini dia sudah berdiri tegak di hadapanku.

"Itai desuka?". Tanyanya mengagetku. Aku menatapnya. Beralih ke arah jaket yang lelaki itu pakai. Ada warna merah putih di lengan kiri jaket hitamnya. Warna itu adalah bendera dan itu artinya adalah bendera Indonesia. Berarti lelaki di hadapanku ini adalah seorang Indonesia.

"Hallo". Lelaki itu mengibaskan tangan kanannya di depan mukanya sendiri.

"Orang Indonesia?". Spontan aku balik bertanya tanpa menghiraukan pertanyaannya.

"Iya. Tahu dari mana?".

"Itu". Sahutku sambil menunjuk ke arah lengan kiri jaket hitamnya. Matanya menuju ke arah telunjukku.

"Ohh, iya. Haha...". Tawanya tertahan. Aku hanya tersenyum.

"Oh kalau begitu, maaf saya harus segera pergi. Maaf tadi sudah membuat kamu kaget dan sakit atas peristiwa ini. Saya duluan. Permisi". Lanjutnya sambil menaiki sepedanya dan bersiap akan pergi.

Aku terpana. Tak menyangka dengan secepat kilat dia berlalu dari hadapanku. Mataku mengikuti sosoknya dari belakang yang tertimpa butiran halus putih. Begitu saja. Ya begitu saja.

Akupun melanjutkan perjalananku. Niat hanya ingin melepaskan penat dan resah yang aku rasakan akhir-akhir ini. Tidak ada tujuan berarti. Kembali kurapatkan syal yang melilit leher, kuseka salju yang mulai mencair di coat kotak-kotak yang kupakai. Melangkahkan kaki menyusuri sungai yang sudah membeku dan dingin, sedingin perasaanku saat ini.

***

Kala Sakura Bermekaran di The Kintai BridgeWhere stories live. Discover now