"Heres the Hot Matcha Latte and Cheese Cuisine, Miss."
"Ah, thank you, Mrs." I answered with the smile on my face.
"Youre wellcome." The waitress replied.
I have a final exam at ten AM. But its too early morning to start the day with a final exam review, I think. So here I am, took a seat in my favorite spot in this cafe.
But, hah.. Aku bosan sekali. Gak ada teman ngobrol. Hana juga di telfon katanya dia sibuk belajar. Huh, belajar tuh tadi malem gitu, kek. Dasar, ambisius.
Karena aku bosan, akhirnya aku memilih untuk membuka laptop dan melanjutkan teks resensi yang sedang kubuat untuk kemudian aku upload di websiteku. Teks resensi kali ini, aku mengangkat buku "Omen Series" karya Lexie Xu. Buku ini membawa genre horror-thriller yang jarang diminati kalangan anak muda. Atau banyak juga yang menyukainya? Aku tidak tahu, selera orang berbeda-beda, kan.
Buku Omen Series ini memiliki 7 serial buku yang berkesinambungan jalan cerita antara satu sama lain dan itu sangat menarik buatku. Dan juga-
"Can I take a seat here?"
"Huh?"
"Can I take a seat here?"
"Oh, sure."
Saking asiknya menceritakan tentang buku yang sedang aku resensi, aku sampai tidak sadar ada yang sedang berdiri di depanku. Kenapa kalian tidak mengatakannya? Aku kan jadi malu..
"Sepertinya, sedang asik menulis, ya?" Tanya lelaki asing tadi.
"Huh?"
"Tuh kan, kamu mengucapkannya lagi. Aku tadi tanya ke kamu sepertinya kamu sedang asik menulis, ya?"
"Ah- um, iya. Ah- maksudku, kamu berbicara Bahasa?"
"Oh, tentu saja. Aku mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di Hankook University." Jawabnya bangga.
"Lalu, bagaimana bisa mengenaliku? Maksudku, sebagai orang Indonesia." Tanyaku bingung.
"Simple saja, wajahmu agak lebih melayu daripada yang selainnya, jadi aku mengira setidaknya kamu akan mengerti Bahasa. Tapi kelihatannya kamu memang orang Indonesia, ya?"
"Ah, iya. Aku juga sempat terkejut mendengar pelafalanmu yang sangat lancar."
"Hahaha, itu mungkin karena ketertarikanku terhadap Bahasa yang sangat tinggi. Terkadang juga masih terbata-bata atau bahkan lupa." Jawabnya dengan senyum yang lebar.
"Aah, begitu rupanya." Ucapku sambil menganggukkan kepala.
"Kamu, anak kuliah juga?" Tanyanya.
"Ah, nggak. Aku masih kelas 3 Senior High School."
"Oh, I see.. So, you should call me Oppa, then."
"Why?"
"Aku kan lebih tua dari kamu."
"Maksudku, kenapa harus memanggil Oppa? Kita saja nggak saling kenal, kan?"
"Ouhh, thats hurt me so bad."
"Dont overact." Selaku sambil menyeruput Matcha Latte ku yang hampir dingin, entah karena terlalu lama didiamkan atau karena sudah terkena ludah pria yang banyak bicara ini.
"Jadi, haruskah kita kenalan? Aku Noh Ba Da. Kamu?"
"Ba Da? Ocean? Laut? Wahh, orangtua mu sepertinya sangat terobsesi dengan laut sampai anaknya diberi nama seperti itu."
Ba Da terlihat kesal. "Ayo beri tahu aku namamu."
"Baiklah, baiklah.. Mau nama Indonesia apa nama Korea?"
"Both!" Jawabnya kelewat semangat.
"Hmm, okay. Nama Indonesiaku Kendama Aairin. Double A. Dan nama Koreaku Shin Jung Hye." Jelasku.
"Ookaay! Jung Hyeie? Hyeya? Hyeie?"
"Ah, terserahmu sajalah, Ba Da."
"Eits, Oppa, Hyeie~"
"Uhh, Mollaaa! (gak tahu ah!)." Aku berucap kesal sambil membereskan meja.
"Ini sudah jam 9 dan aku harus segera naik bus untuk sampai ke sekolah. Im going, bye." Pamitku sambil membawa tas sekolahku keluar kafe.
"Hyeie! Ya! Jankanman! (tunggu!)"
Tak aku hiraukan ucapan pria berisik itu dan terus melanjutkan langkahku ke halte terdekat.
Sesampainya di sekolah aku langsung mengeluarkan alat tulis yang kubutuhkan untuk ujian akhir Bahasa Inggris ini. Aku sedang mengobrak-abrik isi tasku, tapi aku tetap tidak menemukan dimana tempat pensilku.
Apa aku meninggalkannya di meja belajar? Ah, tidak tidak. Seingatku, sudah aku masukkan.
Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang aku lakukan tadi pagi. Lalu, aku pergi ke kafe, dan.. Ah, sial! Pasti ketinggalan di meja kafe saat aku terburu-buru tadi. "Ah, manghaetda! Pabo! (Ah, gila! Bodoh!)" Umpatku.
Aku menoleh pada teman disampingku, "Uhm.. Ji Nan-ah, bolehkah aku meminjam bolpoin mu?"
"Oh, tentu saja, Jung-ah. Take it, take it."
"Ung.. Gomawo (terima kasih), Ji Nan-ah. Ji Nanie, Jjang! (terbaik!)" Ucapku sambil mengacungkan dua jempol.
Sementara Ji Nan hanya tertawa mendengar ucapanku. Uh, bagaimana nasib tempat pensilku.
"Baiklah, anak-anak. Silahkan kumpulkan ponsel kalian di depan sebelum ujian dimulai. Tidak ada kertas ataupun buku lain diatas meja. Jika ada yang ketahuan menyontek, lembar jawabannya akan langsung disobek saat itu juga." Ucap pak guru tegas.
"Ne, Ssaem. (Ya, pak.)"
Sebelum aku menonaktifkan ponselku, ada dua pesan masuk. Dan aku memilih untuk membukanya terlebih dahulu.
Sender : Unknown Number
To : Shin Jung Hye
Text : -Annyeong, Hyeie~ (Halo, Hyeie~)
-Yogineun Bada-ieyo. (Ini Ba Da.)
Dan pesan terakhir membuatku langsung mematikan ponselku lalu mengumpulkannya.
YOU ARE READING
caffeine and heartache
Teen FictionEither caffeine or heartache, both are the same. They are on my blacklist. Cause they both are hurt enough for me. Neither coffe nor chocolate, both are the same. They can't help me to calm down myself. Cause they both are contain a caffeine.