Belajar Dari Gandi

129 14 5
                                    

"Disuruh makan aja susah kamu itu, mau jadi anak nakal? Yang ga nurut sama omongan bunda?" Suara lemah lembut dari Ningsih mengalun indah, wanita paruh baya itu masih berusaha membujuk putra semata wayangnya untuk makan.

"Pokoknya Eko mau ikut ayah, kalau engga diizinin Eko mau mogok makan." Ancaman 'mogok makan' terus saja terulang jika keinginan dari bocah yang berusia sebelas tahun itu tidak dituruti.

Ningsih menarik napas panjang, menatap penuh cinta pada putranya yang saat ini sedang mengerucutkan bibirnya. Sekarang ini Eko sedang ngambek. Sekolah eko sedang libur panjang, seharusnya bocah tanggung itu liburan bersama teman-teman sekolahnya, seperti yang sudah direncanakan. Namun, Ningsih malah membawa suami dan putranya ke desa, mengunjungi kedua orang tua Ningsih. Jadilah putranya itu merajuk terus-terusan.

Dan hari ini Hardi, suami Ningsih berencana kembali pulang ke Jakarta lebih dulu, karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda, Eko yang mengetahui jika ayahnya akan pulang, langsung merajuk ingin ikut serta. Namun Ningsih tidak memberikan ijin. Membuat putranya uring-uringan.

"Yaudah kalo gitu, bunda juga mau mogok makan, nemenin kamu," ujar Ningsih.

"Apaan sih bunda, kan yang ngambek aku, bukan bunda," gerutu Eko, sembari menatap bundanya, yang sekarang ini sedang tersenyum manis.

"Bunda sayang sama Eko, jadi bunda mau nemenin. kita nahan lapar bareng-bareng."

Eko semakin kesal, bundanya selalu saja bisa membuat dirinya lemah. Dengan ekspresi wajah yang masih ditekuk, Eko menuju ke dapur, mengambil sepiring nasi, lalu memakannya, sontak membuat bundanya tersenyum cerah.

Setelah sarapan Eko melanjutkan misi merajuknya, ia kembali mengurung diri di kamar, sejak tiba di rumah sang nenek, Eko terus saja berdiam diri di dalam kamar membuat bundanya sedikit khawatir. Lalu, tidak betapa lama terdengar suara ketukan pintu.

"Eko, ayo keluar sayang, ada Gandi tuh, ngajakin kamu main."

Kemudian, pintu langsung terbuka, tanpa berkata sepatah katapun, Eko melewati bundanya, seolah bundanya itu makhluk tak kasat mata.

Ketika sampai di teras, bocah kecil itu langsung mendengus melihat sosok Gandi, yang tidak berubah sedikit pun.

"Kebiasaan kamu, ga pernah pake baju," gerutu Eko, pada sosok yang sekarang ini sedang tersenyum cerah. Gandi hanya memakai celana pendek berwarna hitam tanpa atasan, kebiasaan yang membuat eko kesal. Walaupun jarang bertemu, karena Eko harus tinggal di Jakarta, sedangkan Gandi di desa, tetapi persahabatan mereka tetap berjalan dengan manis. Setiap kali Eko mengunjungi neneknya, Gandi pasti langsung menemui Eko. Seperti sekarang ini.

"Tau dari mana, aku ada di sini?"

"Tuh," jawab Gandi, sembari menunjuk mobil hitam milik ayah Eko.

"Berarti kamu tau dong, kalau dari kemarin aku udah ada di sini?"

Gandi mengangguk.

"Kenapa baru datang? Lupa sama aku?" Eko langsung mengeraskan suaranya. Moodnya sedang memburuk.

Gandi nyengir. "Kemarin aku sibuk."

"Anak kecil sibuk apa? paling main."

"Bapak demam, jadi aku gantiin bapak nyari keong di sawah, lumayan dapet dua puluh ribu seharian."

Sesaat eko terdiam. Gandi tinggal bersama bapak dan adiknya yang masih berumur tujuh tahun, ibunya gandi meninggal dunia setelah melahirkan si Bungsu. Bapak Gandi bekerja serabutan, mencari keong untuk dijual, atau menjadi kuli.

"Sekarang ga nyari keong lagi?" tanya Eko, setengah berbisik.

"Kata bapak biar bapak aja, soalnya demam bapak udah hilang. Jadi kita bisa main."

"Kamu yang izin sama bunda ya, aku ganti baju dulu."

"Kenapa aku yang minta ijin? Anaknya bunda kan kamu."

"Aku lagi ngambek sama bunda," celoteh Eko.

"Ngambek kenapa?"

"Ceritanya nanti aja, udah sono temui bunda," ujar Eko, kemudian ia berbalik, setengah berlari ke arah kamarnya.

***

"Aku ga suka warnanya."

"Alasan, bilang aja kamu ga mau pake baju," ucap Eko sewot. Dia sedang memaksa Gandi untuk memakai kaos miliknya.

Gandi nyengir.

"Cepetan pake, kalo kamu jadi anak bunda, abis kamu diomelin terus. Ga pernah pake baju, jarang makan, badannya kurus, abis kamu sama bunda."

"Andai aku jadi anak bunda, pasti enak ya?" gumam Gandi, sembari tertunduk.

"Diomelin kok enak, aneh."

Gandi kembali nyengir. "Nyuci baju itu capek, jadi aku ga mau ada cucian. Kamu ga tau rasanya nyuci baju."

Eko menghentikan langkahnya. "Jadi karena itu kamu ga pernah pake baju?"

Gandi mengangguk. "Gapapa Aku jarang makan, yang penting adek aku selalu kenyang. Biar beras di rumah ga cepet abis. Aku kasian sama bapak. Kalo beras abis, dia kaya sedih gitu, Ko."

Eko tercenung, Gandi jarang makan karena sengaja, sedangkan dia ... Kadangkala dia sampai marah sama bundanya hanya karena debat masalah makan.

"Cocok ga?" tanya Gandi, yang berhasil membuyarkan lamunan Eko.

"Cocok, dari pada telanjang," jawab Eko, sembari menarik tangan gandi.

"Ko balik lagi, bukannya kita mau main?" Gandi mengerutkan keningnya ketika Eko berbalik arah.

"Mainnya nanti aja, aku mau bilang makasih dulu sama bunda. Dia udah mau nyuciin baju aku, dia udah mau masakin aku, temenin aku ya?" jelas Eko dengan ekspresi wajah cerahnya.

"Siap. Komandan, tapi nanti gantian, kamu yang nemenin aku ke sawah nyari keong. Lumayan sambil main."

"Oke bos, nanti aku bantuin nyarinya biar dapet banyak."

Dua bocah itu berjalan sembari tersenyum riang, saling merangkul. Tanpa mereka sadari, mereka saling menguatkan, persahabatan tulus itu berhasil membunuh duka masing-masing.

***
End.

Reka RasaWhere stories live. Discover now