CPDY 3

652 10 0
                                    

Dari kerjasama yang disetujui oleh Pihak Kampus dan Pihak Sekolah, setidaknya ada 3 jam pelajaran yang harus kami saksikan, dengan setiap jam pelajaran adalah 40 menit. Kalau di Indonesia hitungan 1 jam pelajaran itu 45 menit. Dan, jadwal pelajaran di sini dalam satu hari adalah 7 jam pelajaran. Setidaknya selama satu hari siswa akan masuk kelas selama 4 jam 40 menit. Itu yang tingkat SD-SMP, kalau SMA malah Full Day. Adapun pendidikan agamanya, biasanya mereka mengaji di Halaqah Tahfidz di masjid-masjid dari menjelang maghrib hingga jam 8 malam dengan materi pokok Tahfidz Al-Qur'an¸ Aqidah, Fiqih dan Akhlaq.

Memasuki jam pertama, kami masuk kelas 8 yang berisi 18 siswa. Di jam pertama ini materinya adalah Matematika dengan pembahasan Bilangan Variabel. Materi ini juga diajarkan di kelas 7. Hanya saja di Arab banyak istilah matematika yang tak terlalu kami fahami, khususnya 2 temanku yang hanya menganggukngangguk saja dari awal hingga akhir.

Nama gurunya Pak Alwi, penyampaiannya cukup bagus. Bahkan sebagian besar siswa menghafal rumusrumus pelajaran terakhir lantas mengerjakan soal-soal yang berikan.

 Bahkan sebagian besar siswa menghafal rumusrumus pelajaran terakhir lantas mengerjakan soal-soal yang berikan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Foto : Salah seorang siswa kelas 8 mengerjakan soal Matematika.

Oh ya, sebagai catatan, tujuan kami menyaksikan proses pengajaran ini adalah untuk menilai cara pengajaran guru tersebut. Mulai dari pembukaan hingga penutupan. Bagaimana cara menguasai kelas di saat siswa ribut atau ada yang suka cari perhatian dengan melakukan hal-hal yang aneh. Nah, di sinilah tangtangan seberapa mampu kita bisa menguasai kelas tanpa menggunakan sistem diktator. Meskipun ada sebagian guru yang memang diktator, sehingga murid-murid merasa ketakukan. Kalau di Indonesia tipe guru yang diktator itu biasanya yang ngajar Matematika, kalau di sini yang ngajar Bahasa Inggris. Yah, bagi orang Yaman pelajaran Bahasa Inggris adalah pelajaran tersulit. Dan, ternyata Pak Alwi ini sangat bersahabat dan anak-anak senang sekali diajar beliau.

Pak Alwi menanyakan satu persatu siswa tentang rumus matematika. Hanya satu anak yang kusaksikan tak bisa menjawab yang pada akhirnya dia menghafal dari jawaban kedua temannya. Setelah itu Pak Alwi memberikan soal agar langsung dikerjakan di papan.

Tentang soal Bilangan Variabel ini aku teringat saat kelas 3 SMP saat mendapatkan bimbel persiapan UN. Saat itu Pak Guru berkata: "Soal Matematika kali ini, kakak kelas kalian tahun kemaren tak ada satupun yang bisa mengerjakannya." Akhirnya beliau menuliskan salah satu soal Bilangan Variabel. Aku menolah ke kiri dan ke kanan, tak ada satupun temanku yang angkat tangan.

Padahal yang ikut bimbel adalah mereka yang ranking 10 besar di kelas. Untuk beberapa saat keheningan terjadi dan Pak Guru mengambil alih lagi udara yang sempat sunyi. "Siapa yang bisa mengerjakan?" Tanya Pak Guru untuk kedua kalinya. Akhirnya seorang anak lelaki (orang tapi anak, anak tapi lelaki : Abaikan saja!) yang sempat menoleh ke teman-temannya dan memikirkan satu rumus Bilangan Variabel yang pernah ia dapatkan saat kelas 1 SMP lantas mengacungkan tangannya. "Pak, saya siap mengerjakan," katanya dengan mantab yang disambut dengan kata "Silahkan" oleh Guru Matematika yang terkenal Killer itu.

Setelah 2 menit berdiri di depan kelas, anak lelaki itu kembali ke tempat duduknya. Dalam hatinya ia membatin: "Soal ini sangat mudah sekali, bahkan keterangan Pak Guru saat kelas 1 SMP masih begitu jelas terbayang dalam ingatanku." Akhirnya Pak Guru itu mengoreksi hasil pekerjaan anak lelaki tersebut. "Beri tepuk tangan untuk anak ini", kata Pak Guru kepada para siswa. Yah, akhirnya teka-teki soal yang terabaikan sejak setahun lalu itu, kini terjawabkan. Dan kini, anak lelaki itu sedang bertualang untuk mencari jati dirinya.
Ok, kita lanjut kembali ke Yaman.

Dalam map yang kubawa ada beberapa lembar Form untuk diisi yang nantinya akan kami setorkan kembali ke pihak kampus sebagai laporan hasil dari apa yang kami saksikan di kelas. Dalam satu Form ada sekitar 15 pertanyaan yang harus kami jawab, yang mana jawaban itu adalah hasil dari pengataman langsung di kelas.

Jam pertama akhirnya usai. Lantas kami pindah ke kelas 5 dengan populasi 39 anak. Seperti posisi duduk kami di jam pertama, pada jam kedua ini kami duduk di bagian belakang. Hanya saja saat ini jumlah siswa lebih banyak sehingga kami sangat jauh dari gurunya. Nah, saat kami hendak masuk ke kelas 5, Gurunya protes ke Ust. Muhammad Sa'id: "Ustadz, kenapa harus kelas saya? Kenapa gak kelas yang lain saja?" ucap Guru itu.
Kami tak begitu mendengar percakapan beliau berdua.

Oh ya gurunya perempuan, namanya Bu Aisyah, beliau lulusan SMA. Pelajaran yang beliau pegang adalah Tarbiyah Islamiyah dengan materi saat ini adalah Fiqih Rukun Sholat. Semestinya kami masuk ke kelas yang diajarkan Pak Guru, bukan Bu Guru. Cuma karena kelas-kelas lainnya padat dan tak bisa dimasuki, akhirnya kami hanya punya dua pilihan, yaitu: Kelas Tarbiyah Islamiyah yang diajarkan Bu Aisyah dan Kelas Bahasa Inggris yang diajari oleh Bu Asholah.

Awalnya aku memilih kelas Bahasa Inggris, cuma karena kedua temanku memilih untuk menyaksikan kelas Tarbiyah Islamiyah, akhirnya aku mengalah. Toh Tarbiyah Islamiyah adalah materi yang kami ambil di Kampus di Fak. Syari'ah.

Kata Ust. Muhammad Sa'id: "Bu Gurunya malu, dia cuma lulusan SMA sedangkan kalian anak kuliahan yang memang mengambil jurusan yang ia ajarkan." Itu mungkin alasan pertama kenapa Bu Aisyah menolak, dan alasan keduanya menurutku karena beliau malu harus diperhatikan 3 lelaki asing selama mengajar.

Akhirnya kamipun masuk ke kelas yang beliau ajar.
Untuk pertama kalinya di Yaman, selama 40 menit aku harus duduk manis memperhatikan seorang gadis berbicara. Kalau bukan karena kewajiban menilai guru tersebut, mungkin aku memilih untuk tidak memperhatikannya, untuk apa coba?

Oh iya, di Yaman semua perempuan bercadar, kecuali yang masih kecil. Tapi, kemaren aku perhatikan siswi kelas 4 SD saja sudah ada yang becadar. Tapi pada umumnya mereka mengenakan cadar saat memasuki kelas 7.

Saat duduk di belakang kuperhatikan secara saksama bagaimana Bu Aisyah menyampaikan materi pelajaran. Mataku juga terarah pada anak-anak yang aktif menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Bu Guru. Ada juga yang disuruh maju untuk mempraktekkan Sholat. Dan, hei... di bagian belakang aku menemukan beberapa siswa sibuk sendiri, ada yang ngupil (entah kenapa kata ini akhirnya muncul), ada yang ngerumpi dan ada juga yang mengerjakaan PR Bahasa Arab.

Yah, waktu itu Bu Gurunya fokus di bagian depan dan tengah, sedangkan bagian belakang tak terjamah oleh pengawasannya, atau mungkin karena beliau ada rasa malu untuk melangkah ke belakang karena ada 3 lelaki asing yang memandanginya dari awal hingga akhir?

Entahlah, aku belum sempat menanyakan ini pada Bu Guru itu, dan aku tak kan pernah berani
mengatakannya. Kubiarkan anggapan ini hanya sebatas prasangka, meski terkadang cinta itu bermula dari sebuah prasangka. (Nah, lho!)

Sesaat aku teringat Kisah Cinta Abadi Arjumand Banu dan Syah Jahan.

Catatan Pendidikan Di YamanWhere stories live. Discover now