Chapter 4

17.2K 612 6
                                    

Sudah hampir 2 bulan Moza menjalankan kehidupan- nya di Indonesia. Di sini Moza menjalankan kehidupan yang sangat sederhana, ia bekerja di sebuah Cafe. Sebe- narnya uang yang ia bawa sangat cukup untuk kehidupan sehari-hari, tapi tentu saja bila dipakai akan habis. Sampai akhirnya Moza memutuskan untuk men-cari pekerjaan.

Tentang ibu dan ayahnya, mereka sudah tahu kepergian mendadak Moza ke Indonesia, walaupun mereka tidak tahu alasannya Moza pindah karena apa. Philip selalu berniat untuk menanggung kehidupannya di sini, namun Moza menolaknya.

Pagi ini Moza harus kembali bekerja, sesampai di sana Moza menyapa Lexi teman dekatnya selama di sini. Dia juga berasal dari New York sama seperti Moza. Usianya yang jauh lebih tua 2 tahun dari Moza, membuat Moza seperti memiliki seorang kakak. Alasan-nya berada di sini sama seperti Moza, keluarga Lexi yang selalu menyuruhnya untuk menjalankan usaha keluarganya tidak di gubrisnya. Sampai akhirnya Lexi pergi ke negara ini untuk menjalankan kehidupan yang mandiri. Moza Salut dengan Lexi, meskipun ia terlahir dari keluarga orang berada, Lexi tetap sederhana, dan tentu kedudukan orang tuanya tidak membuatnya menjadi tinggi hati, tidak seperti Mark pria arogan dan sombong.

Moza tampak melihat kemiripan wajah Mark dengan wajah Lexi. Mata biru, rahang yang tegas, dan hidung mancung mirip seperti Mark. Moza seperti melihat Mark, tapi tentu, sifat Lexi dan Mark bertolak belakang.

New York.

Mark yang sedang berkutat dengan berkas-berkasnya, dikejutkan dengan ketukan pintu.

"Masuk!" perintah Mark. Pintu terbuka menampil-kan seorang pria muda dengan berpakaian serba hitam. Pria itu masuk, tidak lupa menutup pintu kembali

"Bagaimana?" tanya Mark pada Ronald, yang meru- pakan salah satu kaki tangan Mark yang di sangat di percaya.

"Saya sudah menemukan infonya, Tuan," ujar Ronald yang masih menundukkan kepala hormat.

"Kerja yang bagus, di mana dia?"

"Nona Moza di Indonesia Tuan, tepatnya di Jakarta. Nona bekerja di sebuah restoran, letaknya dekat dengan area perkantoran dan salah satu perusahaan di sana menjalin kerja sama dengan perusahaan Anda," ungkap Ronald menjelaskan. Seketika Mark tampak tersenyum puas mendengar penjelasan Ronald.

"Aku suka cara kerjamu," puji Mark pada Ronald, Ronald hanya membalas dengan senyuman.

"Apa Phillip tahu tentang ini?" tanya Mark.

"Tuan Phillip telah mengetahui bahwa saat ini Nona Moza telah berada di Indonesia, hanya saja saya tidak yakin, apa tuan Philip juga tahu alasannya Nona Moza pindah ke Indonesia."

"Shit," umpat Mark. "Jangan sampai dia tahu ten-tang apa yang terjadi denganku dan putrinya," sambung Mark yang dibalas anggukan dengan Ronald.

"Kamu boleh pergi!!" titah Mark pada Ronald, tapi Ronald hanya berdiam diri lalu melanjutkan info yang belum sempat ia beri tahu pada tuannya.

"Satu lagi Tuan."

"Ada lagi?" tanya Mark.

"Nona Moza bekerja di restoran. Nona satu tempat kerja dengan tuan muda Alexi, dan ini beberapa lembar foto sebagai buktinya." Seraya menyerahkan amplop coklat yang berisi foto.

Mark dengan cepat menyambar amplop itu, lalu membukanya. Mark menatap tajam foto-foto itu, rahangnya mengeras menahan marah, Mark geram melihat foto-foto itu.

Tampak di dalam foto itu, Moza dan Lexi sedang makan ice cream bersama. Lexi yang mengelus puncak rambut Moza, dan Moza yang sedang tersenyum, belum lagi saat Lexi sedang menutup mata Moza dengan kedua tangannya, tampak di foto itu Moza sedang membersihkan kaca restoran.

"Ada hubungan apa dia dengan adikku?" tanya Mark dingin.

"Untuk saat ini kami masih menyelidikinya Tuan. Tapi Anda tenang saja, info ini akan segera kami dapatkan," ujar Ronald mencoba meyakinkan Mark.

"Tidak Ronald aku yang akan langsung menanyakan itu kepadanya, sekarang siapkan semuanya, kita akan pergi ke Indonesia, untuk menjemput nonamu," ujar Mark dengan seringai tajam. Ronald pun hanya menjawab dengan anggukan lalu pamit pergi.

Indonesia, Jakarta

"Aku lelah sekali Lexi," ujar Moza yang sedang menepuk pundaknya pelan.

"Istirahatlah, biar aku yang menyelesaikan sisanya," ucap Lexi.

"Tidak apa-apa?" tanya Moza yang menatap pria yang berdiri di hadapannya.

Lexi membalas dengan gelengan dan tersenyum. "Ini sudah malam dan Cafe akan tutup, bila tidak segera dibereskan akan ada pengunjung lagi nanti." Moza tertawa lepas mendengar alasan Lexi yang tidak masuk akal.

"Baiklah, terima kasih Lexi," ujar Moza. Lexi pun pergi untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya.

Beberapa saat kemudian, semuanya sudah selesai. "Ayo, pulang! Semuanya sudah selesai."

"Ha? Cepat sekali." Tampak Moza menatap sekitar- nya, keadaan Café tampak sudah bersih dan rapi.

"Aku tidak bisa membiarkanmu menunggu terlalu lama," ujar Lexi tersenyum manis pada Moza.

Deg. Jantung Moza seakan ingin meloncat mendengar perkataan Lexi. Moza tampak blushing.

"Kamu terlihat cantik bila sedang menahan malu," goda Lexi.

"Hai, sembarangan. Siapa yang malu, aku hanya kedinginan," ucap Moza mengelak.

"Hangat!" Seraya menyentuh tangan dan pipi Moza yang semakin memerah.

"Ah, ayolah kita pulang! Aku sudah mengantuk." Moza pun menarik tangan Lexi mencoba mengalihkan pembicaraan.

Dari kejauhan, tampak seseorang pria telah mem- perhatikan mereka berdua dari dalam mobil, tangan pria itu terkepal kuat, tampak dirinya sedang menahan emosi.

"Ikuti mereka!" perintah Mark pada sopir pribadi-nya. Ya. Pria itu adalah Mark.

Mark tampak melihat Moza dan Lexi yang berhenti di sebuah rumah mini malis. Tidak berapa lama Moza memasuki rumah itu. Kemudian Lexi pergi meninggal-kan latar rumah dengan berjalan kaki. Tidak ingin mem-buang waktu, Mark pun memutuskan untuk menemui Moza, tentunya di saat ia melihat Lexi sudah menjauh dan menghilang di ujung jalan. Mark melangkah mema-suki pelataran rumah Moza. Tok Tok Tok!

Ketukan pintu menghentikan aktivitas Moza yang saat ini sedang berganti pakaian.

"Ya, sebentar." Moza pun berlari kecil menuju pintu utama.

Saat pintu terbuka Moza tampak terkejut dengan apa yang dilihatnya.

Bastard CEO Where stories live. Discover now