9

3.8K 198 0
                                    

DEG!

Al terkejut, dengan langkah pelan ia berjalan menghampiri ke dua orang tuanya. Jujur saja, hatinya sakit saat ini, melihat keduanya masih saja bertengkar padahal kenyataan mereka memang benar-benar sudah berakhir. Ia sedih, sangat sedih bahkan, namun Al tetap berusaha tegar dengan wajahnya masih terlihat pasif. Ia berhenti tak jauh dari mereka, tanpa mereka sadari kehadirannya.

"AKU. GAK. AKAN. PERNAH. IJININ. KAMU. BAWA. AL!!" seru Rani tegas tepat di depan wajah Surya dengan penuh penekanan di setiap katanya.

"KA--"

"Al gak mau," potong Al dingin, ia melangkah mendekat ke arah Rani dan Surya yang kini beralih memandang Al kaget.

Al berhenti di antara ke duanya dan menatap Surya tajam, "Al gak akan ikut papa," lanjutnya membuat Surya terkejut, sedangkan Rani mengangkat ujung bibirnya membentuk lengkung. "Al juga gak akan ikut mama!" tambahnya lalu memandang Rani yang kini terkejut.

Al berbalik ke arah pigora besar yang ia belakangi. Foto itu baru Al pasang beberapa bulan lalu, di sana terlihat tiga orang yang tengah tersenyum, namun bukan senyum ke bahagiaan melainkan senyum ke terpaksaan. Al harus mengancam kedua orang tuanya untuk bisa menuruti permintaan sederhananya ini. Tersirat ke sedihan saat ia memandang foto itu.

"Bukankah percuma jika Al ada tapi tak di anggap?" ia menghela napas.

"Benar yang papa bilang, mama terlalu sibuk dan gak lagi peduli dengan Al dan papa. Mama juga benar, papa juga sama sibuknya sehingga papa lupa sama Ona," lanjutnya sedih.

"Al," panggil Rani pelan.

"Al pengen keluarga kita yang dulu, yang bisa tersenyum tanpa beban, bukan dengan ke terpaksaan."

Al berbalik menghadap kedua orang tuanya yang menandangnya sedih, "Apa itu mustahil?" Rani dan Surya hanya bungkam tak mampu menjawab pertanyaan anak semata wayangnya.

Melihat itu Al menyunggingkan senyuman miringnya, Al mengangguk pelan lalu beralih memandang arah lainnya, sebisa mungkin ia menyembunyikan ke sedihannya.

"Gak perlu jawab, Al tau jawabannya," ujar Al, dan pergi berlalu meninggalkan ke duanya, ia kembali melangkah menuju kamarnya.

Baru beberapa langkah perdebatan mereka pun terdengar lagi, membuat Al kembali menghentikan langkahnya. Ia menyandarkan tubuhnya di dinding, menutup matanya rapat dengan tangannya yang juga menutupi ke dua telinganya, kepalanya menggeleng pelan.

"LIHAT! INI SEMUA GARA-GARA KAMU DATENG KE SINI! AL JADI MARAH SAMA AKU!" bentak Rani.

"JANGAN SELALU MENYALAHKAN AKU DENGAN SIKAP ONA KE KAMU RAN!!? INI JUGA KESALAHAN KAMU!!" balas Surya tak kalah keras.

Menit berikutnya, Al berlari menaiki tangga dan segera menuju kamarnya.

BRAAKK!!

Al membanting pintu kamarnya cukup keras, ia marah. Dan kini ia sama sekali tak bisa mengontrol emosinya. Kakinya melangkah menuju meja rias yang berada di pojok ruangan, memandang pantulannya sendiri dengan marah, wajahnya kini berubah merah padam menahan semua emosi yang mungkin sebentar lagi akan terluapkan.

"Lo itu menyedihkan! Lihat keluarga lo. HANCUR! Apa lo masih pantes buat hidup?" ujarnya kepada pantulannya sendiri, seolah-olah pantulan itu tau tentang dirinya. Terukir senyum tipis di bibir Al.

"ARRRGHH!! BANGSAATTT!!!" Al melayangkan tangannya memukul cermin yang ada di hadapannya.

CRAANNGGG...

Detik berikutnya masih dengan posisi yang sama, cairan merah kental mengalir keluar dari sela-sela kulit dan retakan kaca itu. Serpihan-serpihan kaca berhamburan ke lantai, nafasnya memburu, matanya yang tanjam mengisyaratkan kemarahan yang menjadi.

ALONA (SELESAI)Where stories live. Discover now