01

47.3K 2.5K 65
                                    

Dalam ruangan mewah yang terlihat sangat berantakan, terlihat seorang wanita yang masih bergelung dalam selimut tidurnya. Hari sudah siang, namun dia tidak akan terbangun jika saja suara dering telepon itu tak mengusiknya. Mengerjapkan mata merasa malas meraih ganggang telepon yang berada di atas nakas, suara diseberang telepon yang menyapa membuatnya mendengus tak percaya.

"Selamat siang, Ibu Mia. Bagaimana kabar Anda hari ini? Maaf jika mengganggu, kami hanya ingin mengingatkan bahwa waktu checkout Anda seharusnya jam 12 siang ini."

"Iya, terimakasih sudah diingatkan." Dan seketika sambungan telepon tersebut terputus tak memberi kesempatan pada resepsionis untuk membalas ucapannya.

Mia Pramudita, seorang wanita berusia 28 tahun yang memiliki cara berbeda dalam menikmati hidup. Berkah baginya terlahir dari keluarga yang berada, membuat Mia terlalu berlebihan dalam memaknai kehidupan yang baginya menyenangkan.

Seperti yang terjadi saat ini. Disaat ada rumah yang nyaman untuk menjadi tempat tinggal, dia lebih memilih untuk bermalam disebuah hotel mewah seorang diri. Baginya cukup merepotkan jika harus mengemudikan mobil ditengah kemacetan Jakarta untuk bisa pulang ke rumahnya. Dia pemuja hal serba praktis, termasuk membelokan arah kemudi mobil menuju hotel supaya ia bisa bergegas membaringkan badan selepas berpesta di kelab malam.

Selesai membersihkan diri, Mia memutuskan turun menuju front office untuk melakukan checkout-nya. Semudah itu, sampai... semua kartu andalan mendapat penolakan.

"Maaf Ibu, kartu yang ini juga tidak bisa." kata resepsionis mengembalikan kartu yang kesekian pada Mia.

Mia mengerutkan kening tak mengerti. Dia menggeleng kecil tak mempercayai hal seperti itu bisa terjadi. Jelas sekali tadi malam dia bisa menggunakan semua kartu kredit maupun kartu debitnya dengan lancar. Jika ada yang salah, tentu itu semua adalah ulah ayahnya.

Berulang kali Mia mencoba menghubungi nomor telepon ayahnya, namun tidak aktif. Dia bahkan tidak mendapati ayahnya berada dikantor, membuat rasa khawatir itu perlahan menguasai hatinya. Mia pamit sejenak untuk pergi dari hadapan resepsionis, dengan maksud untuk lebih leluasa menghubungi orang-orang yang sekiranya bisa membantu.

"Halo, Mama! Kenapa Mia gak bisa hubungi Papa? Telepon ke kantornya pun katanya Papa gak ada." kata Mia sesaat ibunya mengangkat panggilan teleponnya.

"Kok malah tanya Mama sih, Sayang? Mama lagi liburan sama tante Keke, bukannya lagi ngintilin Papa kerja di Jakarta. Lagian kenapa tumbenan sekali nyari Papa? Berapa hari kamu gak pulang rumah lagi?"

"Mamaaa, kenapa malah ceramahin Mia? Aku gak aneh-aneh kok, janji deh. Cuma... sekarang Mia bingung ini bayar hotel gimana? Kenapa semua kartu aku gak ada yang bisa?" jawab Mia mulai frustasi.

"Kok malah nanya ke Mama sih? Ya nanya Papa dong kan duitnya dari Papa semua."

Mia berdecak kesal. "Udah dari tadi bakalan nanya ke Papa kalo aja Papa bisa dihubungi, Mama. Dari pada kelamaan, sekarang Mama aja deh yang transfer uang ke Mia. Biar Mia bisa pulang sekarang. Terdampar di hotel loh ini gak bisa bayar."

"Ya udah sini mana nomor rekeningmu?"

Mia menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. "Emmm aku gak mungkin apal semua digit nomornya lah Mama."

"Lah terus gimana cara Mama transfernya ke kamu kalo nomor rekeningnya aja gak tau?"

"Kan bisa dilihat dari riwayat."

"Kapan Mama pernah transfer ke Mia?"

Hening sejenak, lalu Mia berteriak frustasi menyadari solusi yang tak berarti. Dia tak lagi peduli ketika setiap orang yang berada dilobi memperhatikannya bertanya-tanya.

The Perfect Man [END]Where stories live. Discover now