30. Penolakan

3.5K 395 63
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, tidak ada yang berbicara. Bian terlalu gugup dan Jinyoung terlalu marah. Marah karena Bian tidak memberitahukan kepadanya tentang kehamilannya lebih awal. Jika Bian bertindak sesuai dengan apa yang ia pikirkan mungkin semuanya akan lebih mudah.

Jinyoung sedang lelah fisik, dia kalut. Tidak bisa berpikir secara rasional. Hanya mementingkan sisi untuk dirinya saja.

Di rumah, lebih tepatnya apartemen, Jinyoung menarik Bian yang akan menuju kamar untuk berganti baju menatapnya. Bian tersentak, terhuyung, namun ia masih mampu mengendalikan keseimbangannya.

"Bian, saya mau bicara."

Konsekuensi yang akan Bian terima, Jinyoung tentu akan marah. Jelas. Siapa yang tidak marah bahwa seseorang yang dipercayanya sekalipun menyembunyikan hal sebesar itu.

"Kamu pikir kehamilan itu main-main?"

Nada bicara Jinyoung yang dingin dan terkesan angkuh menghipnotis Bian, ia tidak memiliki keberanian untuk menjawab. Ia hanya menunduk dan memilin jemarinya gugup.

"Jawab saya!" Jinyoung menyentak lengannya kasar.

Bian memberanikan menatap manik mata Jinyoung, yang tampak lelah. "Bian enggak pernah menganggap bayi ini mainan mas."

"Kenapa kamu enggak bilang dari awal?"

Bian terdiam. Tidak mungkin dia menjawab dengan alibinya agar bisa mengikuti serangkaian ujian praktek yang menguras fisik.

"Harusnya kamu bilang dari awal, agar kita lebih mudah mengaborsinya."

Bian mencelos. Ditatapnya mata Jinyoung dalam. Perlahan Bian menjatuhkan air matanya. Jinyoung tidak menginginkan anaknya, anak mereka, buah cintanya.

"Mas enggak seneng aku hamil?"

Jinyoung menatap arah lain, enggan menatap Bian yang mulai menangis. "Itu hanya akan menjadi penghambat."

"Penghambat apa? Perceraian?" Teriak Bian keras. Ia terlanjur mengikuti emosi yang Jinyoung ciptakan.

Jinyoung beralih menatap matanya, "Itu anak siapa?"

Bian menatap Jinyoung tajam. Ia merasa hina.

"Menurut mas anak siapa?"

"Kamu pasti pernah ngelakuin hal itu kan sama Jimin? Sampai ketauan pacarnya dan Jimin harus putus."

Bian menggelengkan kepalanya tidak percaya. Ucapan Jinyoung sangat pedas, dan juga menusuk hatinya. Bian tidak mengerti dengan pola pikir Jinyoung yang menjadi sangat dangkal.

Dadanya naik turun, nafasnya tersengal, Bian sangat emosi. Bian menyibakkan rambutnya ke belakang, berusaha mengontrol emosinya. Tidak percaya dengan ucapan Jinyoung malam ini.

"Bian pergi." Pamitnya kemudian.

Bian merasa marah, sangat marah. Seharusnya Jinyoung mampu mengontrol ucapan dan juga emosinya walaupun ia tengah banyak pikiran tentang pekerjaan. Apa di dunia ini makhluk tersibuk dan memiliki pekerjaan paling banyak hanyalah Park Jinyoung saja?

"Mau kemana kamu? Saya belum selesai bicara."

"Cari cara buat ngebunuh anak ini, kalau bisa Bian juga ikutan mati!"

Bian juga lelah. Mengurus dirinya sendiri yang kini tengah berbadan dua, belajar untuk menghadapi rentetan ujian yang mencekiknya, dan merahasiakan kehamilannya dari semua orang. Bahkan keluarganya sendiri tidak ada yang mengetahuinya.

Bian hanya takut, ketika semuanya mengetahui berita kehamilannya dia tidak diizinkan mengikuti ujian. Hanya itu. Dia masih ingin lulus dengan nilai yang bagus. Hanya tinggal ujian nasional dan ujian masuk perguruan tinggi yang masih menghantuinya.

Teacher; Park JinyoungOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz