Breath | 16

211 29 2
                                    

"Horor juga menyenangkan, mungkin."

"Ah, mana seru kalau kau menontonnya di siang bolong begini, Tae." Jimin tolak mentah-mentah ide bodoh Taehyung.

Rosé cuma putar bola mata saja saat lagi-lagi diberikan dialog perdebatan semacam ini. Sedangkan Heo Young yang pundaknya dipinjam Taehyung untuk bersandar hanya mampu geleng-geleng kepala mendengar cekcok antara Jimin dan Taehyung. Hari masih siang, kendati belum menyentuh angka dua belas, tetapi ini sudah termasuk siang bagi mereka.

Taehyung mencebik dengan raut wajah memohon dengan sangat. "Aku sudah lama ingin menonton film horor, tetapi tidak akan menantang dan seru jika menonton sendirian saat tengah malam. Akan jauh memacu adrenalin kalau aku melihatnya bersama kalian di siang hari begini." Taehyung mengedip penuh harap akan persetujuan Jimin selaku pengontrol remote televisi.

Jimin yang sudah enggan sekali meladeni tingkah kekanakan Taehyung berakhir meletakkan pilihan pada stasiun televisi yang menayangkan sebuah acara berita. Kendati di antara mereka hanya Jimin saja yang menyukai acara-acara monoton seperti ini, mereka tetap menurut saja pada kemauan Jimin. Sebab, menolak keinginan Jimin itu adalah hal yang rumit. Susah sekali, demi Tuhan.

Jimin tidak ambil pusing keterdiaman tiga orang lain yang tengah pandangi layar televisi dengan malas-malasan. Dia juga tidak ingin begitu terpaku pada berita yang ditayangkan, dia hanya ingin Tae berhenti meminta menonton film horor, maka dari itu dia menjatuhkan pilihan pada sebuah acara berita.

"Dasar, Jimin ini jahat sekali sih." Suara Tae berenang bebas lewati sepasang rungu Jimin yang diatur pura-pura jadi orang tuli.

"Korupsi lagi, korupsi lagi," senandika sang ibu selepas lihat judul berita yang tengah ditayangkan.

Sebenarnya, Jimin tidak peduli ada berapa banyak pengusaha di luaran sana yang mengambil kekuasaan penuh atas dunia bisnis dengan cara-cara macam kotor apalagi berkorupsi. Namun ketika mengingat bahwa sang ibu pun termasuk pegawai kantoran yang punya probabilitas jenjang tinggi akan ciprat-ciprat uang korupsi, Jimin jadi berpikir lagi. Lantas dia arahkan pandangan mata menuju hidung cantik sang ibu, kemudian naik menuju jajaran bulu mata lentik yang jatuh seiring kedip mata ibunya. Apa sang ibu pernah menilap uang kantor untuk membiayai hidup mereka selama ini? Maka pertanyaan itulah yang terus-menerus menggerus otak Jimin.

Bayangan yang Jimin ambil dari awang-awang seketika menyerak bersama oksigen dan partikel-partikel kecil lain di dalam ruangan akibat isak tangis yang terdengar ditahan-tahan. Jimin coba cari-cari letak vokal mikro itu hingga ke kolong-kolong meja, tetapi dia temukan kesakitan bencat yang dipaksa untuk bisu tertelan hingga menuju lambung lalu mengalir ke usus-usus itu pada bibir Rosé. Jimin raih gurat bingung bertumpahruah bersama gores panik tatkala semakin tatap betapa dalam isakan tangis tertahan yang Rosé telan bulat-bulat bersama saliva.

Jimin angkat satu tangan, lalu meletakkannya pada pundak lain Rosé untuk rangkul kesakitan bisu itu dengan baik. Jimin harap, Tae dan ibunya tetap mengarah ke televisi agar lara-lara yang Rosé pendam setidak-tidaknya dapat keluar dalam jumlah sedikit demi sedikit.

Raga Rosé tersentak hebat saat dapat rangkulan penenang dari Jimin. Ini bukan perkara baik kalau Jimin sampai tahu bahwa ia tengah menahan tangis. Namun saat hendak kembali telan seluruh luka berdarah-darah itu, ia malah tersedak. Kerongkongan terbakar; terlumuri darah kekecewaan, ketakutan, dan tetes-tetes darah lain yang mengalir secara impulsif pula konotatif.

Jimin berbisik, "Tidak apa-apa, lepaskan saja." Mengelus pundak Rosé yang kian bergetar seiring detik-detik meranggas. "Luka yang berdarah tidak bisa ditelan bulat-bulat, semua harus kaulimpahkan. Kendati gengsimu ikut tumpah-ruah ke mana-mana. Namun bukankah menangis hanya jalan satu-satunya untuk keluar dari jerat ketidakpuasan akan melencengnya sesuatu dari ekspektasi yang telah diagung-agungkan?"

[✓] BREATHDonde viven las historias. Descúbrelo ahora