Chapter 26 ( Demon Prince )

1.3K 51 3
                                    

"Ahhrrrggg." Suaraku saat pesawat yang aku naiki bersama Dyani sampai di Charles de Gaulle international airport, Paris

Aku menenguk segelas jus yang di berikan oleh para pramugari tadi. "Maaf kan mama yaa sayang, dari tadi pagi mama tidak memberikan mu makanan yang baik."

Aku menengok kearah Dyani dan tebak apa yang aku dapatkan?

"Dyani? Hey, kita sudah sampai Dyani. Waktunya turun dari pesawat." Dyani tertidur pulas dengan penutup mata pandanya itu

Tanpa henti hentinya aku slalu mencubit pipinya dan kurasa memang pipi Dyani sudah sangat kebal dengan cubitan.

"Dyani ayo bangun." Dengan mengorek big nose of Dyani

"Haa apa? Apa? Mana Quinziiy? Kenapa semuanya gelap?!" Dia terbangun dengan ekspresi kaget dan meronta ronta membuat para menumpang yang masih berada di dalam pesawat mengalihkan pandangan mereka serentak pada aku dan Dyan.

"Permisi nona, apa ada yang bisa saya bantu?" Salah satu pramugari menghampiri kami."

"Umm tidak ada, terimakasi."

"Baiklah nona."

Pramugari itu pergi meninggalkan kursiku dan Dyani. Aku memalingkan pandanganku ke arah Dyani dan melirik kearahnya sinis. "Enak tidurnya Dyani?"

Dyani hanya tersenyum najis kearah ku. "Maafkan aku. Pelayanan mereka sangat baik di pesawat ini."

-*-*-*-*-

"Semua permasalahan ini sangat membuatku frustasi. Apa yang harus aku lakukan? Ahh bagaimana aku hanya memperhatikan anak orang lain sedangkan wanita dan calon bayiku terlantar begitu saja tanpa pengawasanku." Aku membalikan kursi dan lekas berdiri, membuka brankas besar itu dan mengambil sebuah bingkai foto yang masih tertata rapih di sana.

Aku mengelus kaca bingkai foto itu, terdapat wajah Quinziiy yang tersenyum bahagia di sana. "Kapan aku bisa kembali melihat tawamu Quinziiy? Bagaimana keadaan mu dan bayi kita? Apa kau makan dengan baik? Apa kau merawat dirimu dengan baik?"

Tok... tok... tok...

Seseorang mengetuk ruanganku dengan perlahan, begitu aku berbalik badan ternyata adalah Coline, sekertarisku.

"Ba-bapak bisa ikut sa-saya sebentar?" Ada apa dengan wajahnya? Begitu jelas di wajahnya, bahwa Coline sedang merasa metakutan.

"Ada apa denganmu Coline? Kenapa wajahmu begitu pucat?" Aku bertanya sambil meletakan kembali bingkai foto itu.

Coline hanya dia dan tidak menjawab. Tangan serta bibirnya bergetar, dari tubuhnya keluar keringat yang begitu banyak serta tatapan nya yang tidak berhenti melihat sekitar. "Coline? Sebenarnya..."

Tok.. tok.. tok..

Aku kembali mendengar suara ketukan pintu. Mata Coline membeku, seakan ketakutan yang ia rasakan sudah ada di puncaknya.

"Permisi permisi, apa ini adalah kantor bapak Lionel Daverell?" Seorang pria masuk dari pintu kantorku dengan membawa sebuah benda yang mirip dengan remote control dengan satu tombol merah di tengahnya.

"Ahh sekertaris Coline. Apa kau sudah menyampaikan pesanku? Kau begitu lama sampai sampai aku harus menyusulmu ke sini. Ahh menyusahkan." Ucapnya sambil berjalan mendekat kearah Coline yang masih saja membeku.

Wajahnya seperti seseorang yang aku kenal. "Andrew?" Ucapanku itu memberhentikan langkahnya yang beranjak semakin dekat.

"Hmm akhirnya aku di akui di sini. Senang bertemu dengan anda, tuan Daverell." Dia tersenyum sinis kearahku.

Aku menajamkan pandanganku padanya dan bertanya lebih serius. "Apa maumu? Dan apa maksudmu datang ke kantorku dan membuat sekertarisku ketakutan seperti ini?"

"Ahh Coline? Aku hanya menyuruhnya untuk memanggilmu turun tapi dia begitu lama. Jadi aku harus mengikutinya dan sampai ke ruangan ini. Kasian bukan?"

"Apa maumu Andrew? Apa hubunganmu dan Neivel?

"Kau akan tau saat ikut bersama ku tuan terhormat."

"Bagaimana kalau aku menolak?"

"Hmm ku rasa kau tidak bisa menolak." Andrew mendekat kearah Coline yang masih membelakangiku dan mengesampingkan rambut panjang Coline, membuatku bisa melihat jelas tengkuknya.

Terlihat jelas bahwa remot control yang Andrew bawa adalah remot bom yang di pasang di tengkuk leher Coline. "Sekali saja ku pencet alat ini, ruanganmu akan berganti warna secara gratis."

"Kau gila Andrew! Apa yang sudah kau lakukan padanya?!"

"Ikut bersamaku atau dia mati?" Mata Andrew saat itu hanya berisi dendam dan benci yang benar benar membara.

"Tangan di atas dan segera menunduk, ini tak akan menyakitkan. Boys come in." Dia menyuruh setidaknya sebanyak 5 anak buahnya untuk masuk dan mengikat tanganku dengan tali yang sangat tebal.

"AAAARRRRRRGGGGHHH!" Ikatan demi ikatan itu seperti menghancurkan urat urat di pergelangan tanganku.

"Upss, maaf. Apa aku menyakitimu tuan? Hahaha jangan bercanda Dave, itu belum sebanding dengan apa yang sudah kau rebut dariku." Dia tepat berada di atasku dengan keadaanku yang sedang bertahan dengan kedua lutut kakiku.

CAP!

Dia menancapkan sebuah suntikan di tengkuk leherku dengan cepat. Ahh pandanganku kabur dan kepalaku sangat pusing.

Quinziiy. Ucapku saat mataku benar benar tertutup dan aku hilang kesadaran dengan sekejap.

~~~~~~

Saya akan menerima semua kritikan dari kalian para pembaca setia TBRFQ yang sangat kecewa karena saya kembali memperlambat publikasi chapter kelanjutan cerita ini. Saya mohon maaf yang sebesar besarnya yah. Mohon untuk memberi komentar karena akan sangat memotivasi saya sebagai penulis yang yah jarang up hehe. Always love you all♥

Vote and Comment

Love yaa

10 Januari 2019


-Next Chapter 27-

A Beautiful Revenge For QuinziiyWhere stories live. Discover now