17th

1.5K 124 6
                                    

(Pierre)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

(Pierre)

Taman siang itu ramai. Seakan-akan sebagian kota keluar buat berkumpul melepaskan penat disabtu pagi.

Aku mendudukkan tubuh Kak Danny di bangku taman yang lumayan jauh dari keramaian. Menyelimutinya dengan kemeja biruku yang nampak kebesaran ditubuhnya.

Kadang-kadang aku menengok ke belakang, takut jika tau-tau Kak Chintya berdiri dibelakang kami.

Kak Danny melenguh. Matanya mengerjap terkena silau matahari.

"Pierre?" Katanya serak.

"Hm?"

"Selama gua gak ada, apakah lu bahagia?" Tanyanya. Aku ngangguk ragu. Dia senyum miring.

"Kalo gitu, apa gunanya gua khawatirin elu selama ini," suaranya bergetar. "Apa gunanya gua merasa bersalah sama lu?"

Aku pegang punggung tangannya yang kosong, terus mengusapnya pelan.

"Kak, aku sama sekali gak ngerti,"

Pandangan kita bertemu. Bikin aku sadar kalo ternyata matanya berkaca-kaca. Reflek, tanganku terulur mengusap air matanya yang hampir terjatuh.

"Kita bertemu waktu lu masih kecil. Dan kita berdua dijual, dipermalukan dihadapan jutawan. Lu nangis, lu dateng ke gua. Kita belom kenal waktu itu, tapi lu udah nangis sambil meluk gua,"

Sebenernya aku gak terlalu ngerti apa yang Kak Danny omongin. Tapi entah kenapa, kepalaku sakit. Seolah-olah ada luka lama yang udah kering kembali terbuka.

Badanku oleng. Pusing dan kehilangan keseimbangan. Kak Danny menahan badanku. Rautnya keliatan khawatir.

"Lu gapapa?"

Aku ngegeleng. "Cuma pusing,"

Kak Danny senyum. Senyum pertama yang aku liat di wajahnya.

"Kayaknya gua salah cerita sama lu," dia ngusap punggung aku. "Biarin waktu yang ngejawab,"

"Aku gak ngerti," aku duduk disampingnya. "Apa hubungan aku sama Kakak di masa lalu?"

"Kita lebih deket daripada amplop sama perangko,"

Nah, kan.

Aku makin gak ngerti.

Kak Danny kembali mendongak dan memejamkan matanya. Bikin aku sadar kalo bulu matanya itu lentik, hidungnya bertulang tinggi, bibirnya tipis merona.

Dia gak tampan.

Dia cantik.

"Dulu gua lebih tinggi dari lu," kata Kak Danny. "Tapi kayaknya lu tumbuh lebih baik dari gua,"

Dia noleh ke arahku. Muka kita berhadapan sekarang.

Nampak jelas bibirnya tertarik lembut, menatapku dengan sayu.

2! DAMN!Where stories live. Discover now