Dia, Di Akhir Waktu

234 66 80
                                    

Gadis bermata hijau itu termenung. Dia tiba-tiba mengingat bagaimana kematian para pendahulunya. Dan kesimpulan yang bisa dia dapat, tidak pernah ada dari garis keturunannya yang pernah mati dengan wajar—mereka mati bunuh diri.

Jadi, setelah mencari selama nyaris dua ribu tahun, ternyata begini cara mematahkan kutukannya? Dengan bunuh diri?

Lalu, kutukan Steve? Setelah bunuh diri, apakah Steve akan tetap terus bereinkarnasi?

Sesosok anak kecil tiba-tiba melintas di depan gadis itu, membuatnya tersadar. Dia menoleh ke arah anak itu berlari, menuju ke jembatan penyeberangan.

Gadis itu memejamkan mata, kemudian segera membukanya. Dia mengejar si anak, menelusuri jalanan menanjak jembatan penyeberangan yang transparan.

"Naak!" seru gadis itu. Dia mencekal tangan si anak kemudian melemparnya hingga jatuh, menggelinding turun dari jembatan.

Sementara kemudian, listrik mengaliri jembatan itu dengan kekuatan besar, dan merobohkannya bersama dengan si gadis.

———‡☆‡———

"Hei."

Gadis itu berputar, mencari asal suara. Tempat ini teramat gelap. Terlalu gelap.

"Nona."

Gadis itu memejamkan mata ketika tempat dia berdiri secara mendadak berubah menjadi sangat terang. Dia tertegun saat membuka mata, mendapati segalanya menjadi putih, sangat putih sampai-sampai dia merasa dia ditelan cahaya.

"Guru."

Suara itu sangat dekat. Si gadis berbalik dan mendapati seorang anak kecil berdiri di hadapannya, menyapa dengan seringaian khas yang hanya dia yang punya.

"Guru, apa kabar?"

Mata hijau si gadis membola, skleranya berkaca-kaca.

"Steve?"

"Ya, ini aku."

Dalam sambaran secepat kilat, gadis bermata hijau itu membawa Steve ke pelukannya. Pelukan yang sangat erat sampai,

"G-guru, aku, tidak bisa, ber, na, pas."

Gadis itu melepas pelukannya, tersenyum lebar menatap Steve, membuat bocah itu menganga tak percaya.

"Guru, kenapa menangis sambil tersenyum lebar begitu?"

Menangis?

Si gadis menyentuh pipinya, kemudian segera menghapus air mata ketika menemukan bahwa wajahnya memang basah. Tapi air mata itu tidak mau berhenti mengalir dari kelopak matanya.

"Entahlah, aku sendiri tidak mengerti," ucap gadis itu.

Steve tersenyum lebar, kemudian kembali memeluk gurunya, yang kali ini dibalas dengan pelukan yang lebih hangat.

"Apa sekarang berarti aku sudah mati?" tanya si gadis sembari mengurai pelukan.

Steve tersenyum, "Sekarang kutukan guru sudah dipatahkan."

"Kamu pasti mencuri informasi tentang kutukanku, ya?" selidik si gadis dengan nada jenaka.

Steve mengangguk sambil tertawa, "tentu saja. Aku bahkan lebih tahu tentang kutukan itu daripada Guru."

"Lalu kenapa tidak memberi tahuku?"

"Terlambat,” Steve menggeleng. “Aku tahu di sore hari sebelum warga mencari Guru karena hasutan ibuku. Benar-benar terlambat."

Si gadis duduk di dekat Steve, meluruskan kaki, "Jadi, apa yang sudah kamu tahu, hmm?" 

"Kutukan Guru bekerja ketika Guru membunuh seseorang, dan patah ketika Guru mengorbankan diri demi menyelamatkan orang lain." Steve ikut duduk.

TALE OF THE CURSED WITCHWhere stories live. Discover now