Prologue : Battling Each Other

5.8K 721 753
                                    

—WHEN THE PARTY'S OVER,WE STARTED HATING EACH OTHER—

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

—WHEN THE PARTY'S OVER,
WE STARTED HATING EACH OTHER—

•••

Kala itu jam lima pagi, dan Jimin masih bergelung dengan selimut juga kipas angin yang dibiarkan menyala semalaman penuh. Lelah menggelayut di sekujur tubuhnya setelah peristiwa tadi malam yang membuat Jimin kembali merasakan gairah dalam hidupnya. Namun, selang beberapa detik, rungunya diisi oleh bunyi hempasan kaca yang menggema hampir ke seluruh penjuru rumah. Mau tak mau, Jimin dengan cepat menyibak selimut, berjalan dengan sedikit terhuyung-huyung sebab kesadaran belum pulih sepenuhnya. Oh, barangkali juga karena pengaruh alkohol yang ditenggaknya tadi malam.

Hawa dingin langsung menerpa tubuh kecil Jimin ketika telapak kakinya sudah menapak undakan tangga terakhir. Iris hitamnya bergerak menelisik ke arah depan, ke tempat suara tersebut berasal. Keningnya kemudian berkerut kala menemukan presensi sang Kakak menatapnya penuh amarah. Tangannya mengepal, lengkap dengan dada yang naik turun.

"Ada apa denganmu?" tanya Jimin tepat saat melihat sang kakak berjalan mendekat ke arahnya. Netra mereka beradu, seolah saling melempar pukulan hingga menyebabkan lebam, kendati yang Jimin lakukan hanya diam sembari menanti jawaban.

Kakaknya—Park Namjoon, tertawa sumbang. Memiringkan kepalanya sedikit lalu bersuara dengan tegas. "Kau. Kemana tadi malam, huh?"

Jimin mengingat kembali kenangan yang terjadi di hidupnya beberapa waktu yang lalu. Seingatnya ia hanya berpesta untuk merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh dengan meminum beberapa botol alkohol di kelab malam dekat rumah sakit. Lalu, Taehyung menawarinya untuk mencoba sesuatu yang baru, seperti menyesap rokok beberapa batang. Kemudian berakhir di dalam kamar dengan seorang wanita yang bersimpuh di hadapannya.

"Untukmu. Spesial di hari ulang tahunmu."

Jimin tersenyum senang. Tidak bisa mengontrol nafsu birahi yang menggerayangi tubuhnya mana kala wanita itu mencoba bangkit dengan gaun yang sudah rusak di beberapa bagian intim. Terlalu menggoda. Jimin meneguk salivanya kasar sebelum mendekat dan membawa wanita itu pada malam-malam yang tak akan bisa ia lupakan untuk selamanya.

Oh, tentu saja Jimin tak akan bisa melupakan kejadian itu. Kejadian di mana ia bisa merasakan tubuhnya keluar dari kukungan yang telah menyiksa beberapa tahun belakangan. Jika bukan karena Namjoon yang memintanya untuk menjaga keperjakaan hingga menikah nanti, tentu Jimin dengan senang hati membiarkan tubuhnya dicicipi oleh berbagai macam wanita cantik. Rupanya, malam itu ia telah melanggar, hanya karena pikirannya sudah terpengaruhi oleh kadar alkohol.

Tapi Jimin tidak menyesal. Sama sekali tidak. Bahkan jika bisa, ia ingin mencoba wanita itu sekali lagi, namun dalam keadaan sadar sepenuhnya. Mungkin, akan menghasilkan sensasi yang berbeda tentunya. Sayang beribu sayang. Jimin melupakan nama sang wanita, juga bagaimana rupanya.

Teruntuk sekarang, Jimin hanya bisa mengalihkan pandangannya ke arah pecahan botol kaca yang berserakan di atas meja. Ia tidak mungkin mengatakan perihal malam tadi pada Namjoon, kendati bukti nyata kalau dirinya pergi ke kelab sudah ditemukan oleh sang Kakak. Tapi Jimin harus berkilah, tetap kukuh untuk tidak memberitahu Namjoon apa yang sebenarnya terjadi.

"Ke rumah Taehyung. Makan keripik."

Namjoon menatapnya heran. Sedetik kemudian melangkah mendekat lalu menampar keras pipi Jimin, membuat pemuda bertubuh kecil dengan surai yang dicat pirang itu melempar wajahnya ke samping. Perih merambat secara perlahan, seolah menggodanya untuk membalas perlakuan sang Kakak.

"Aku tidak pernah mengajarimu untuk berbohong, Jimin." Namjoon menatap sang Adik dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia Membasahi bibir bawahnya yang sedikit mengering sebelum melanjutkan dengan parau, "Ayah juga tidak pernah 'kan?"

Ayah? Jimin menggertakkan gigi. Emosinya tersulut begitu saja ketika telinganya menangkap kata tersebut terlontar dari bibir tebal Namjoon. Ayah apanya? Laki-laki berengsek itu bahkan sekarang lebih mementingkan wanita murahan yang ia temukan di pinggir jalan dengan pakaian compang-camping. Bajingan itu tak pernah lagi peduli dengannya juga Namjoon semenjak Ibu mereka meninggal karena sebuah kasus pelecehan seksual.

"Oh, kau masih perduli dengan bajingan itu?"

"Jimin!" bentak Namjoon tak terima. Bagaimana pun atau seburuk apa pun sikap orang tua pada anak, mereka tetaplah orang tua. Dan sudah sepatutnya sebagai anak, harus menghormati dan menjaga nama baik mereka. "Bagaimana pun Ayah tetap saja Ayahmu."

"Benarkah?" Jimin menatap remeh. Tubuhnya yang masih berbalut kaus hitam polos juga celana pendek yang senanda dengan bajunya melangkah mendekat, hingga bibir miliknya terarah pada telinga Namjoon. "Persetanan."

Jimin membalikkan badannya, sedikit menghentak kala mengambil satu langkah pertama. Nyaris terjerembab jatuh tepat saat Namjoon meraih lengannya dengan cepat. Sejenak mengembuskan napas kasar dan kemudian menatap sang kakak dengan malas. "Dengar. Ini akan menjadi yang pertama dan terakhir aku mengucapkannya. Jadi tolong dengarkan dengan baik-baik karena aku tidak akan mengulangnya lagi."

Namjoon menatap Jimin yang terlihat dua kali lebih mengerikan dibanding sebelumnya. Mungkin ini kali pertamanya ia menyaksikan sang adik dalam keadaan setengah gila dalam hal bertengkar antarsaudara. Terakhir kali mereka bertengkar mungkin dua minggu yang lalu, itu pun karena salah Namjoon sendiri yang tidak menyiapkan segelas kopi di pagi hari dan memilih mengaduk dua gelas susu di atas meja. Mengingat Jimin yang tak begitu suka dengan susu tentu membuat pemuda berusia hampir genap dua puluh tahun itu mendecak sebal sembari membuang cairan berwarna putih itu ke wastafel.

"Jangan berbicara padaku sebelum kau membuatkanku secangkir kopi."

Hebat. Perlukah tepuk tangan ditujukan pada Jimin sekarang?

Namjoon menahan napasnya, tatkala Jimin kembali bersuara lantang, memecahkan lamunan yang sempat membawa jiwanya terbang ke awang-awang beberapa detik. "Perihal kemana perginya aku tadi malam, aku pergi ke kelab. Bersenang-senang meminum minuman beralkohol dan menyesap rokok."

Rahang mengeras, tangan mengepal, mata yang menatap tak suka. Semua diperlihatkan Namjoon dalam satu waktu bersamaan. Kelab? Alkohol? Rokok? Nama-nama itu kerap mengulang dengan sendirinya di dalam kepala. Nyaris kembali melayangkan satu tamparan di pipi Jimin, namun kembali didahului oleh adiknya yang bersuara kelewat tenang dengan nada rendah, "Aku juga sudah tidak perjaka lagi."

Alis Namjoon bertaut, bibirnya mencoba bersuara, namun tak ada satupun kalimat yang keluar dari bibirnya. Sejemang Jimin terkekeh melihat reaksi yang diberikan sang kakak, terlampau lucu baginya. Lantas kembali bersuara hingga Namjoon merasa lututnya tak lagi kuat menopang badan, "Aku telah bersetubuh dengan seorang wanita di sana. Ugh, enak sekali. Seharusnya kau tak usah repot-repot melarangku, Kak. Karena aku tak akan segan-segan menentangmu untuk kedua kalinya." []

Unseen, Before You Fall | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang